Jika suatu akhir pekan langkahmu menjejak di Kota Takengon, cobalah mengikatkan kenangan dengan permainan arung jeram—sebuah pengalaman yang tak sekadar rekreasi, melainkan potongan hidup yang akan kau bawa pulang dengan senyum.
Dalam perjalanan wisata kami ke Takengon, rombongan kecil ini terpikat untuk menjajal derasnya arung jeram. Beberapa penyedia jasa pun kami hubungi dengan harap-harap cemas. Sayangnya, pada hari Minggu itu, semua perahu karet telah penuh terisi. Raut kecewa pun sempat menyelimuti sebagian dari kami.
Namun, tak lama kesuraman itu luruh berganti cahaya. Kabar baik datang—satu penyedia jasa, Tan Saril, masih memiliki ruang kosong untuk kami.
Keesokan harinya, tepat pukul sebelas siang, kami berangkat dari Batur Teluk Mepar menuju Tan Saril. Di awal perjalanan, keraguan sempat menghinggapi—di manakah tepatnya lintasan arung jeram itu? Bus sekolah yang kami tumpangi diarahkan ke jalan kampung yang sempit dan berliku. Jalan itu seolah hanya cukup untuk kendaraan kecil. Meski bus akhirnya sanggup melewatinya, di benak saya terbayang betapa rawannya jika sopir kurang berpengalaman—sedikit saja salah perhitungan, bisa berujung benturan.
Saat tiba di base camp, kebingungan kembali menyapa. Gambaran arung jeram di kepala saya adalah aliran sungai deras yang menggema, ombak putih menghantam, dan perahu karet yang berjuang di antara bebatuan. Tapi yang saya temukan justru sekelompok orang berkumpul, tenang, mendengarkan arahan. Rupanya, sebelum menantang derasnya air, setiap peserta harus lebih dahulu melalui briefing: sebuah pengantar penting tentang bagaimana menjaga keseimbangan, keselamatan, dan kebersamaan di atas perahu karet.
Di base camp Tan Saril, para peserta dipersiapkan dengan hati-hati. Setiap orang mengenakan baju pelampung berwarna cerah dan pelindung kepala yang kokoh, seakan menyelimuti mereka dengan lapisan keberanian. Suasana penuh semangat itu semakin menarik ketika ibu-ibu dari rombongan kami ikut serta menjajal arung jeram semi ekstrem.
Mereka dibagi ke dalam beberapa kelompok kecil—lima orang dalam setiap perahu, lima jiwa dalam satu nasib. Ada kelompok merah yang tampak berapi-api, kelompok biru yang tenang bak samudra, dan kelompok oranye yang menyala seperti mentari pagi. Setiap warna seakan menjadi lambang karakter masing-masing kelompok, namun menyatu dalam satu tujuan: menantang riak dan derasnya aliran sungai Tan Saril.
Dari Tan Saril Ke Krueng Peusangan
Setelah seluruh peserta menyimak dengan saksama arahan dari pihak penyelenggara, tibalah saatnya mereka menaiki perahu karet. Setiap kelompok ditemani oleh seorang instruktur terlatih—sosok yang akan menjadi nakhoda sekaligus penuntun keberanian di tengah derasnya arus.
Dari Desa Tan Saril, perjalanan dimulai. Mereka diarahkan menuju jalur sungai yang sudah menanti dengan gemuruhnya: Krueng Peusangan, sungai legendaris yang membelah bumi Bireuen hingga ke Aceh Tengah. Riaknya yang liar seolah memanggil setiap jiwa untuk menguji nyali.
Untuk mencapai lintasan arung jeram, para peserta harus mendayung perahu karet menembus arus. Dayungan demi dayungan mereka kayuh dengan semangat yang menggelegak. Tidak tampak letih di wajah-wajah itu; yang ada hanya sorot mata berbinar dan senyum yang merekah. Gelak tawa dan teriakan riuh memecah udara, berpadu dengan suara percikan air, menciptakan orkestra kegembiraan di atas permukaan sungai.
| Keceriaan peserta arung jeram Tan Saril |
Dengan semangat yang tak surut, teriakan ceria para ibu-ibu itu masih terdengar, menggema di tepian sungai. Saat jam menunjuk pukul 11.50 WIB, pihak penyelenggara menyampaikan bahwa lintasan arung jeram semi ekstrem ini akan memakan waktu sekitar 45 menit. Maka, kami yang tinggal di darat harus bersabar menunggu lebih kurang satu jam hingga rombongan ibu-ibu itu kembali.
Sambil menanti, saya mengisi waktu dengan menangkap momen lewat lensa kamera—memotret apa saja yang terhampar di Tan Saril: wajah-wajah penuh antusias, hijaunya alam yang tenang, hingga riak sungai yang terus berbicara dalam bahasa air.
Sementara itu, para ibu yang sudah tiba di lintasan arung jeram tampak tak ragu menceburkan diri secara berkelompok. Mereka tertawa, berbaur akrab dengan anak-anak setempat yang sedang mandi di sungai. Suasana riang itu kian ramai dengan kehadiran peserta dari penyelenggara lain. Baru di saat itu saya sadar, rupanya lokasi arung jeram di Krueng Peusangan ini bukan hanya milik satu penyedia jasa saja. Entah berapa banyak lagi operator arung jeram yang beroperasi di Aceh Tengah—sebuah rahasia yang membuat sungai ini terasa semakin hidup, tak pernah sepi dari jejak petualangan.
Keseruan arung jeram Tan Saril benar-benar memuncak ketika perahu-perahu karet mulai memasuki jalur-jalur berbahaya. Sungai Krueng Peusangan menunjukkan wataknya: arus deras menampar sisi perahu, menghantamnya hingga terhempas ke kiri dan ke kanan, seolah ingin menguji keberanian siapa pun yang berani menantangnya.
Instruktur yang berdiri di buritan harus sigap, tangan mereka cekatan memainkan dayung, menjaga agar perahu tak mudah terguling. Setiap hentakan dayung bukan sekadar gerakan, melainkan pertaruhan antara keseimbangan dan terjungkalnya seluruh penumpang ke dalam arus yang beringas.
Sesekali, perahu karet miring tajam, membuat teriakan peserta pecah berbaur dengan gemuruh air. Bayangan tubuh-tubuh yang terhempas ke sungai seakan begitu dekat. Jika jatuh, mereka harus berebut sigap, berusaha menahan tubuh agar tak terbentur batu-batu besar yang menyembul dari dasar sungai. Dan bisa dibayangkan, betapa perihnya benturan itu bila lengah walau sekejap.
Keseruan kian memuncak saat perahu-perahu itu meluncur deras mengikuti arus, bagai anak panah yang dilepaskan dari busurnya. Sesekali, hempasan air sungai menghantam tubuh para pendayung, membuat mereka terhuyung namun sekaligus tergelak. Teriakan pun pecah, melengking sekuat-kuatnya, bukan karena takut, melainkan untuk merayakan keberanian mereka menantang derasnya aliran.
Sensasi yang lahir dari perpaduan adrenalin dan keceriaan itu tak mudah dilupakan. Kelak, pengalaman ini akan mereka kisahkan kembali—mungkin dengan sedikit bumbu cerita, dengan tawa yang tak pernah lekang, hingga terdengar lebih seru dari kenyataan. Karena begitulah petualangan: selalu menyisakan jejak yang lebih besar daripada peristiwanya sendiri.
Biaya
Ada beberapa pilihan paket yang ditawarkan bagi siapa saja yang ingin merasakan debar arung jeram di Tan Saril. Tak semuanya penuh tantangan ekstrem—bagi yang datang bersama keluarga, terutama dengan anak-anak, tersedia paket family seharga Rp70.000 per orang.
Paket ini dirancang untuk memberikan keseruan tanpa rasa khawatir. Jalurnya lebih bersahabat: perahu karet diarahkan ke aliran sungai yang tenang, datar, dan nyaris tanpa riak berbahaya. Meski demikian, pengalaman mendayung bersama tetap menghadirkan kegembiraan yang khas, terlebih ketika dilakukan dalam kebersamaan keluarga.
Sebelum mencapai titik keberangkatan, para peserta diangkut dengan mobil bak terbuka, menempuh perjalanan sejauh kurang lebih empat kilometer. Perjalanan singkat itu pun menjadi bagian dari keseruan—angin yang menerpa wajah, pemandangan hijau di kiri-kanan jalan, dan tawa riang anak-anak yang tak sabar ingin segera merasakan petualangan di atas sungai.
![]() |
| Papan nama Tan Saril Rafting |
Bagi pencinta tantangan yang ingin sedikit lebih berani, tersedia paket semi ekstrem dengan tarif Rp130.000 per orang. Jalur ini mempertemukan peserta dengan arus sungai yang lebih deras, cukup untuk memacu adrenalin namun tetap dalam batas aman. Jangan khawatir, setiap perahu ditemani instruktur profesional yang siap mengendalikan arah dan memberi aba-aba. Sepanjang lima kilometer lintasan di Krueng Peusangan, para peserta akan merasakan getaran sejati dari olahraga air yang satu ini.
Namun, bagi jiwa-jiwa petualang sejati, ada pula paket susur sungai. Dengan harga Rp250.000 per orang, paket ini hanya diperuntukkan bagi mereka yang berpengalaman. Dua setengah jam penuh mereka akan berlayar di atas arus, menantang panjangnya sungai dan membiarkan tubuh serta nyali teruji oleh derasnya air. Paket ini bukan sekadar permainan, melainkan perjalanan batin yang menyatu dengan alam.
Menariknya, Tan Saril Rafting bukan sekadar penyedia hiburan, melainkan badan usaha milik desa. Seluruh aset berada di bawah pengawasan Desa Tan Saril, menjadikannya sebuah ide brilian: investasi yang menghidupkan desa, sekaligus sumber pemasukan untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat setempat.
Pada akhirnya, arung jeram di Tan Saril adalah pengalaman yang patut dicoba. Instruktur yang ramah dan berpengalaman membuat setiap detik terasa aman sekaligus berkesan. Sekali kamu merasakan derasnya Krueng Peusangan di sini, ada satu hal yang pasti—rindu untuk kembali. [😎]




Posting Komentar