Dalam Doa

 

Serupa kapas diterpa angin, pencarianku tanpa arah dan tujuan. Penepian hati pun tak berpangkal dan berujung. Gundah gulana dan kebimbangan berkecamuk di dalam dada. 

O, penderitaan yang masih menyisakan luka. Hanya derai air mata pelipur lara. Air mata yang tak akan kering meskipun aku tak henti menangis. Aku berusaha untuk bersabar. Dan berkali-kali untuk sebuah ketabahan. Tapi aku tak kuasa. Antara sesal, amarah, harap, dan bingung entah kepada siapa harus kutumpahkan. 

Wahe aneuk meutuah. Jangan sesali dengan apa yang Tuhan berikan. Kita tak kuasa melawan takdir-Nya. Dan semua kita juga akan binasa,” petuah Ibu yang selalu terngiang-ngiang di telingaku.

“Iya, Bu,” jawabku, tapi hanya bisa kuucapkan dalam hati. 

Hai gata boh ate. Laksanakan suruh Tuhan dan jauhi larangan-Nya. Sungguh dunia takkan kekal, Nak,” petuahnya di kali yang lain. 

“Baik, Bu.” 

“Kemarilah, Nak! Dekap Ibu dengan kasih sayangmu.” 

Kudekap tubuh Ibu erat-erat dengan selaksa bahagia. Dekapan yang tak ingin kulepas lagi. Dekapan abadi yang kuinginkan. Tapi aku hanya mendekap angin. Terasa sekali ruang hampa di sekelilingku. Berbeda dengan dulu, kala waktu dan ruang masih mempertemukan aku dan ibuku. Setiap hari aku dibelainya dengan kasih. Buaian do da idi-nya melenakan hatiku. Beribu satu cerita kami riwayatkan. Tak ada perempuan yang lebih kucintai selain Ibu. 

Sejak peristiwa mengenaskan itu melanda bumi kami, aku kehilangan arah. Arus samudera bermuara ke segala daratan, meluluhlantakkan daratan barat Aceh. Aku tahu, dulu Aceh juga luluh lantak akibat bedil-bedil, ledakan-ledakan yang sepanjang hari terdengar serupa simfoni kepiluan. Bapakku salah satu korban kekejaman itu. Ia diculik, disiksa, dan tubuhnya mengapung di sungai. Lalu musibah besar ini – yang hingga sekarang belum mampu kuterima dengan akal sehatku – menghancurkan tanah kelahiranku. 

Semua yang bernyawa lalu kembali kepada-Nya. Satu persatu tubuh yang bernyawa itu terbenam bersama amuk samudera. Hilanglah segala yang kita miliki. Termasuk orang-orang yang kita cintai. Begitu pun diriku. Sampai sekarang belum kuketahui keberadaan Ibu. 

Minggu kelabu itu telah memisahkan segala kerinduan. Padahal aku belum sempat menyirami anggrek-anggrek kesukaan Ibu di halaman rumah. Aku kehilangan Ibu, yang kuyakini masih berada di alam ini. Tapi apakah alam dunia atau bukan? Itu yang menyangsikanku akan keberadaan Ibu. 

Pagi itu, Ibu sedang menanak nasi di dapur. Aku baru bangun dari alam mimpi. Itu pun terjaga akibat bumi bergetar begitu hebatnya. Secepat mungkin aku berlari ke alam terbuka. Lalu Ibu menyusul. Dan aku memegang jemarinya dengan erat. 

“Itulah kebesaran Tuhan, Anakku,” kata Ibu seusai bumi berhenti bergetar. 

Masih terasa kecemasan di balik kalbuku. Aku bergegas membersihkan tubuh. Tapi di luar sana, gedung-gedung tinggi hancur, air laut mulai surut. Anak-anak nelayan memungut ikan-ikan yang tergelapar di bibir samudera. Dan tiba-tiba di kejauhan, gelombang samudera bergulung-gulung menerjang daratan dengan kekuatan kilat. Lenyaplah anak-anak nelayan itu digulung samudera. 

Tak lama kemudian, orang-orang panik. Mereka berlari berpencar-pencar. Mereka berbondong-bondong menyelamatkan diri. Tentu saja kepanikan itu hinggap di relung jiwaku. Urung aku menyelesaikan mandi pagi. Aku berbaur bersama mereka. Karena air samudera secepat kilat mengejar di belakangku. Tak kuhirau keadaan sekeliling. Harta benda kutanggalkan demi keselamatan. 

Tiba-tiba aku terjebak di antara puing-puing kenistaan. Dan terjangan arus samudera selanjutnya melontarkanku terombang-ambing di atas kemarahan laut. Sepotong kayu melintas di depanku. Aku memegang dahannya. Dan terseret bersama arus samudera sampai ke ujung muara Krueng Aceh. Aku masih bernafas. Tapi sayang, tubuh-tubuh di sampingku terapung dengan tenang. Tubuh-tubuh yang telah gempal tercabik-cabik penuh luka seakan tersenyum padaku. 

“Hai, matilah bersama kami!” jerit tubuh kaku seorang anak kecil. 

“Dunia kejam. Mari menuju kedamaian,” pekik tubuh lainnya. 

“Tidaaak! Aku belum mau mati. Dosaku masih banyak,” teriakku. 

Lalu tubuh seorang perempuan melintas di depanku. Aku teringat Ibu. 

“Ibuuuu!” teriakku histeris. 

Celaka, ke mana Ibuku? Lari ke mana Ibu? Ah, Ibu. Apakah Ibu selamat seperti diriku? Atau Ibu ikut terseret bersama mereka? O, betapa bodohnya aku. Ketika kematian di ujung nyata, kenapa tak kupikirkan keselamatan Ibu? Aku terlalu egois. Aku durhaka. 

“Bapak, maafkan aku. Kuingkari janjimu. Aku tak mampu menjaga Ibu,” 

Tak saja Ibu yang terlintas di benakku. Bapak yang telah lebih dulu pergi juga mengutukku. 

“Dasar anak jadah. Kaulupakan Ibu saat maut mengamuk. Rugi kau dibesarkan.” 

Tak sanggup batinku mendengar suara Bapak ketika marah. Aku ingin mati saja. Kulepaskan kayu yang mengapungkan tubuhku. Kutenggelamkan jasad ini agar dosa-dosaku tertebus. 

“Lihat itu! Ada yang bergerak-gerak di sungai. Cepat angkat!” 

Beberapa orang menarik tubuhku. Tapi tanganku memberontak. Aku menjerit dengan nada putus asa. 

“Kau masih untung bisa selamat. Kau lihat yang lainnya telah mati,” bentak sebuah suara. 

Aku pasrah. Karena tubuh ini sudah begitu lemah. 

***

Aku terus mencari Ibu. Di antara puing-puing reruntuhan, di antara mayat-mayat yang terjemur matahari, di antara wajah-wajah pilu di rumah-rumah Allah, di antara… di antara… di antara… entah berapa antara lagi pencarianku. 

Naluriku mengatakan Ibu mesti selamat. Ibu perempuan tegar. Tak mungkin beliau diam saja pasrah pada maut. Tapi entahlah, ini kuasa Tuhan.

Aku yakin Ibu berada di suatu tempat. Pernah suatu malam Ibu mengunjungiku. Ibu tampak cantik sekali dengan sayap putih transparan. Ibu tersenyum padaku.

Wahe aneuk meutuah. Ibu tak mungkin menemanimu lagi di dunia. Ibu harus menjalani kehidupan di dimensi lain. Tapi ingat anakku. Ibu masih hidup. Ibumu ini masih seperti Ibumu yang dulu. Hanya ruang dan waktu yang membedakan kita. Dan kau harus belajar dari kehidupan. Jangan permalukan Ibu dan Bapak di mata dunia.” 

“Ibu, aku tak mungkin menjalani kehidupan dunia ini tanpa Ibu. Aku masih butuh Ibu.” 

“Ibu tak mengajarkanmu menjadi anak cengeng. Kau harus tegar, Nak.” 

“Tidak, Bu. Aku hanya ingin bersama Ibu. Kalau tidak, izinkan aku ikut bersama Ibu di dunia yang Ibu jalani.”

Allah hai do do da idi; Boh gadong bie boh kaye uteun; Rayeuk si nyak hana peu ma brie; Aeb ngon keuji ureung donya kheun

Mataku lelap. Terhanyut dalam alunan ninabobo-nya. 

***

Yang kualami malam itu bukan mimpi. Nyata sekali kurasakan kehadiran Ibu. Ibu memang telah pergi. Tubuhnya hilang bersama amuk samudera. Tapi jiwanya masih berada di sisiku. 

“Kau harus selalu ingat pesan-pesan Ibu. Sebagai lelaki, kau harus kuat. Jangan pernah mengharapkan bantuan orang lain jika kau benar-benar tak membutuhkannya.” 

Ibuku yang bersayap malaikat itu selalu hadir ketika hati gundah gulana. Ketika dendam menghasut hatiku. Ibuku yang bersayap malaikat adalah peri hatiku. 

Benar kata-kata Ibu. Walau negeri hancur tak berbekas, kita jangan menopang tangan saja. Kesedihan berlarut-larut takkan memecahkan masalah negeri ini. Ibuku yang bersayap malaikat mengobar semangatku agar bangkit kembali. Pesan beliau yang terakhir, bangun negeri ini menjadi negeri yang berwibawa.

Aku berjanji, Bu. Negeri ini akan bangkit kembali. Aceh lon sayang, aceh lon seujahtera. Dengan sekuat tenaga akan kupersembahkan jiwa raga demi negeri ini. Aceh harus kembali berjaya.

Nun jauh di awang-awang, seorang perempuan bersayap malaikat sedang tersenyum bangga melihat buah hatinya bangkit kembali.

Banda Aceh,  Maret 2005

Posting Komentar