Di sebuah sudut tenang di Desa Beuringen, Kecamatan Samudera, Aceh Utara, berdiri sebuah bangunan yang tak banyak bicara, namun menyimpan suara-suara masa silam. Museum Islam Samudra Pasai—begitulah ia dikenal—menjadi rumah bagi benda-benda bisu yang pernah hidup dalam denyut Kesultanan Samudra Pasai, kerajaan Islam pertama di Nusantara. Di ruang-ruang senyapnya, pengunjung tak sekadar melihat, tetapi seolah diajak menyusuri lorong waktu, menyentuh jejak kehidupan dari abad-abad yang telah pergi.
Sejak mulai beroperasi pada Juni 2017 dan diresmikan secara resmi pada 9 Juli 2019, museum ini tak hanya menjadi tempat penyimpanan artefak, tetapi juga ruang belajar lintas zaman. Salah satu denyut kehidupannya bernama "Belajar Bersama di Museum", sebuah program yang dirancang untuk membawa siswa-siswi sekolah menyelami sejarah bukan hanya lewat kata-kata, tetapi lewat tatapan mata pada benda-benda warisan yang nyata. Sejarah tak boleh hanya menjadi dongeng yang kabur. Ia harus disampaikan sebagaimana adanya—agar tak lekang, agar tak dibelokkan.
Sabtu pagi, 5 Agustus 2023, giliran sekolah kami yang mendapat undangan menapaktilasi kisah agung itu. Saya turut mendampingi siswa-siswi kelas IX MTsN 1 Kota Lhokseumawe dalam perjalanan yang lebih dari sekadar kunjungan. Beberapa hari sebelumnya, guru sejarah telah lebih dulu menjalin komunikasi dengan pihak museum—jembatan awal dari pertemuan anak-anak dengan masa lalu bangsanya.
Perjalanan memakan waktu sekitar tiga puluh menit. Di dalam bus, anak-anak seperti tak mampu menyimpan kegembiraan mereka. Lagu-lagu mengalun dari bibir mereka yang polos, tawa pecah tanpa canggung, seolah dunia dewasa belum sempat mencemari kebahagiaan mereka. Kami para guru hanya tersenyum dan membiarkan mereka larut dalam kegirangan yang wajar—karena kebahagiaan, bagi mereka, adalah nyanyian yang tidak perlu izin.
Pukul 09.30 WIB, roda bus berhenti di depan bangunan sederhana yang sunyi namun kokoh. Langit cerah, udara hangat, seakan semesta turut merestui langkah kami. Meski museum ini berdiri sedikit menjauh dari riuh jalan raya, akses menuju ke sana sangat bersahabat—jalan beraspal rapi mengantar kami tanpa guncangan. Namun, ada satu hal yang mengusik mata dan hati: sampah-sampah plastik berserakan di sekitaran museum, seolah menghapus kesakralan tempat yang seharusnya dijaga. Mungkin itu sisa-sisa kemeriahan Samudera Expo 2023 yang baru saja berlalu di akhir Juli. Sayang sekali, sebab puing-puing perayaan yang tak dibersihkan bisa menenggelamkan makna.
| Jalan menuju ke Museum Islam Samudra Pasai. Sampah-sampah banyak sekali bertebaran. Foto saya ambil dari Monumen Samudra Pasai beberapa hari setelah Samudera Expo 2023 berakhir. |
Sapa Ramah Duta Museum
Begitu bus berhenti di halaman museum, para siswa berhamburan turun dengan semangat yang belum surut. Kamera ponsel pun segera diangkat—momen ini terlalu berharga untuk dilewatkan tanpa jejak visual. Di depan bangunan bersejarah itu, mereka saling mengabadikan keceriaan; senyum-senyum lepas menghiasi wajah-wajah muda yang dipenuhi rasa ingin tahu.
Sesuai arahan sebelumnya, tas-tas mereka tetap ditinggalkan di dalam bus. Museum ini, rupanya, memiliki aturan yang tak main-main soal kedisiplinan ruang. Hanya buku catatan dan alat tulis yang boleh dibawa masuk—cukup untuk mencatat, tanpa mengganggu nuansa tenang dan khidmat di dalamnya. Dan mungkin, itu pula yang membuat pengalaman di sini terasa lebih personal. Ringan, tapi bermakna.
Tak lama, kami disambut oleh wajah-wajah ramah dari tim museum. Siang itu, kami beruntung dipandu oleh dua duta museum yang energik: Laras Mufasya dan Novi Aditia, dengan bantuan seorang staf bernama Yudi. Kak Laras-lah yang pertama maju menyapa rombongan, senyum hangatnya menyambut para siswa seperti kawan lama yang akhirnya bertemu kembali.
Anak-anak pun segera merapat, membentuk barisan yang rapi. Tak ada teriakan. Hanya suara lembut Kak Laras yang mengisi udara pagi itu, memberi arahan dengan tutur yang bersahabat. Mata anak-anak memandangnya penuh perhatian—mungkin karena caranya berbicara, mungkin juga karena mereka tahu, petualangan mereka baru saja dimulai.
| Anak-anak dari kelas IX MTsN 1 Kota Lhokseumawe berfoto bersama sebelum mulai mengikuti belajar bersama di museum. |
Setelah pengarahan singkat dari Kak Laras selesai, dan sesi foto bersama sambil memegang spanduk usai diabadikan, anak-anak pun mulai melangkah masuk ke dalam museum. Wajah-wajah penuh rasa ingin tahu mulai menyusuri lorong waktu yang tersembunyi di balik dinding-dinding sederhana itu.
Kisah Awal Kesultanan Samudera Pasai
Ruangan pertama menyambut kami dengan keheningan yang penuh makna. Di sinilah Kak Laras mulai membuka lembar pertama kisah besar Kesultanan Samudra Pasai—tentang awal mula sebuah kerajaan Islam yang kelak menjadi pelita di ujung barat Nusantara. Nama demi nama terpajang di dinding: para Sultan dan Sultanah yang pernah memimpin dengan pena dan pedang, dengan kitab dan kebijaksanaan.
Anak-anak diam. Hening. Tak ada suara gaduh seperti biasa. Semua mata tertuju pada Kak Laras yang mulai menuturkan kisah Sultan Malik Ash-Shalih, sang pendiri, sosok visioner yang lebih dikenal dengan nama Sultan Malikussaleh. Suaranya lembut namun tegas, mengalir perlahan, seakan membawa kami menyusup ke masa lalu—ketika pelabuhan-pelabuhan sibuk dengan saudagar asing, dan azan pertama menggema dari menara pertama di bumi Aceh.
Saya melihat beberapa anak saling berbisik, matanya berbinar. Barangkali ini kali pertama mereka mendengar kisah sang sultan dengan narasi sedetail ini, bukan sekadar nama dalam buku pelajaran.
Tapi cerita tak berhenti pada sang raja. Kak Laras lalu memutar haluan kisah, memperkenalkan sosok lain yang tak kalah mengagumkan: Malikah Nahrasiyah, atau Sultanah Nahrisyah—perempuan pertama yang memegang tampuk kekuasaan di Samudra Pasai. Bukan sekadar nama, tapi tokoh penting dalam sejarah yang kerap terabaikan. Ia adalah putri dari Sultan Zainal Abidin, dan darah Sultan Malikussaleh mengalir dalam nadinya. Sosoknya menjadi bukti bahwa sejarah kita tak hanya dibangun oleh laki-laki, tapi juga oleh perempuan-perempuan tangguh yang memimpin dengan hati dan akal.
Di ruangan itu, sejarah tak lagi terasa jauh. Ia hadir lewat cerita, menepi dari buku-buku kaku, dan hidup kembali dalam suara seorang pemandu yang mencintai warisannya. Dan saya tahu, di saat-saat seperti inilah, benih cinta pada masa lalu mulai tumbuh dalam hati generasi penerus.
| Duta museum Samudra Pasai, Kak Laras sedang memberikan penjelasan kepada rombongan siswa-siswi. |
Bisikan Abadi dari Cerita Batu Nisan
Usai menelusuri kisah para raja dan ratu dari masa silam, rombongan kami perlahan bergeser ke sudut lain ruangan. Di sana, keheningan seakan menjadi lebih dalam. Kami berdiri di hadapan saksi bisu yang tak lagi bersuara, tapi menyimpan gema dari abad-abad lalu: batu-batu nisan dari zaman Kesultanan Samudra Pasai.
Di antara batu-batu itu, salah satunya mencuri perhatian lebih: sebuah batu nisan dengan tipologi yang dikenal sebagai "Kulah Kama Pasai". Bentuknya tinggi dan ramping, dengan mahkota yang menjulang di atas kepala batu, seperti topi kehormatan yang dikenakan para leluhur dalam tidur abadinya. Di permukaannya terukir ornamen floris—lukisan alam dalam batu—lembut, rumit, namun tetap anggun. Nisan ini tampak lebih dari sekadar penanda makam; ia adalah karya seni yang lahir dari keimanan dan kecintaan pada keabadian.
Kak Laras menjelaskan bahwa batu nisan semacam ini sangat jarang ditemukan. Saya mengangguk pelan, memandangi tiap lekuknya dengan takzim. Ada sesuatu yang sunyi dan khusyuk dalam keberadaan batu-batu ini. Mereka tidak berbicara, tapi kita tahu bahwa mereka pernah menyaksikan tangis kehilangan, doa-doa yang dilantunkan malam hari, dan tangan-tangan yang mengusap permukaannya dengan cinta dan hormat.
Beberapa nisan lain menunjukkan keindahan kaligrafi Arab yang terukir dalam berbagai gaya. Saya mendekat, mencoba membaca salah satunya—huruf demi huruf yang tertulis dengan tangan yang pasti ahli, hati yang pasti khusyuk. Namun saya menyerah. Meskipun saya belajar di jurusan Pendidikan Bahasa Arab, nisan-nisan itu seperti berbicara dalam dialek yang lain—dialek waktu dan tradisi yang membutuhkan ilmu khusus untuk diterjemahkan.
| Duta museum Samudra Pasai sedang menjelaskan tentang batu nisan kuno pada masa Kerajaan Samudra Pasai. |
Menyelami Numismatika dan Warisan Perhiasan Samudra Pasai
Usai menyimak kisah bisu dari batu-batu nisan yang agung, rombongan kami perlahan melangkah ke sisi lain ruangan. Di sanalah sejarah numismatika Samudra Pasai disimpan—sederhana tapi memikat, seolah setumpuk koin emas kecil itu membawa berat sebuah peradaban.
Di balik kaca bening yang dingin, berjajar dirham-dirham tua yang pernah menjadi nadi ekonomi kerajaan. Anak-anak menatap kagum pada koin-koin mungil berwarna emas, mengilap meski telah melintasi abad. Dulu, koin-koin inilah yang berpindah dari tangan ke tangan—di pasar-pasar pesisir, di pelabuhan-pelabuhan ramai, atau mungkin dalam kantong saudagar asing yang singgah mencari rempah dan hikmah.
Kak Laras menjelaskan bahwa masyarakat Samudra Pasai telah mengenal dua sistem: barter dan uang. Tapi yang membuat kerajaan ini istimewa adalah keberadaan mata uang resmi mereka sendiri: dirham emas, atau yang dikenal pula dengan sebutan lokal "deureuham". Setiap sultan mencetak koinnya sendiri, dan di museum ini, dua di antaranya masih dapat disaksikan: dirham Sultan Muhammad Malik Az-Zahir dan dirham Sultan Ahmad Malik Az-Zahir. Masing-masing dicetak dengan ukiran halus, dihiasi kaligrafi yang menunjukkan keagungan, kekuasaan, dan keyakinan.
Tak hanya koin lokal, ruang numismatika ini juga menyimpan bukti hubungan Samudra Pasai dengan dunia yang lebih luas. Tertata rapi, tampak koin dari Dinasti Yuan dan Dinasti Ming, pertanda eratnya hubungan perdagangan dengan Tiongkok. Di sampingnya, terdapat pula koin dari Kesultanan Delhi—milik Sultan Muhammad Tughluq—serta alat barter kuno dari masa Sriwijaya, seperti cangkang kerang dan batu kecil yang pernah memiliki nilai tukar.
Ruang itu kecil, tapi seolah membuka jendela ke dunia yang jauh lebih besar. Anak-anak tampak terpaku, seakan mulai menyadari bahwa kerajaan ini bukan hanya cerita dalam buku pelajaran—melainkan entitas besar yang hidup, berdagang, dan berjejaring dengan peradaban lain jauh sebelum dunia mengenal istilah globalisasi.
Setelah kenyang menyantap kisah mata uang, kami diajak menengok sejenak ke sisi lain museum—ruang keramik dan tembikar. Di balik kaca pajang, pecahan-pecahan keramik Dinasti Ming berjejer tenang. Retakan halus di tubuh mereka tak mengurangi nilai estetikanya, justru menjadi bukti bahwa mereka pernah melewati perjalanan panjang: dari daratan China ke pesisir Aceh, dari kapal dagang ke ruang pamer museum.
Dan Samudra Pasai bukan sekadar pusat perdagangan dan keilmuan. Ia juga mengenal keindahan dan gaya. Di bagian perhiasan, mata anak-anak kembali berbinar—terutama para siswi. Di sana, dipajang kalung-kalung kuno, bros-bros bercorak etnik, hingga anting-anting yang mungkin dulu menghiasi telinga para perempuan bangsawan. Simbol keanggunan dan kemakmuran yang tak lekang waktu.
Dalam setiap ruang yang kami lalui, saya merasa seolah sedang menyingkap lapisan-lapisan sejarah yang selama ini tersembunyi di balik tanggal dan nama. Dan mungkin, di antara dirham emas, pecahan keramik, dan perhiasan kuno itu, anak-anak pun mulai memahami: bahwa sejarah bukan sekadar hafalan—ia adalah napas panjang peradaban yang patut diselami dengan rasa hormat dan kagum.
| Salah satu perhiasan yang pernah digunakan oleh kaum perempuan di zaman Kerajaan Samudra Pasai. |
Nama-nama perhiasan itu mulai disebut satu per satu oleh Kak Laras. Taloe taku, subang bungong meulue, taloe takue bieng meuh, taloe takue limong suson, boh do ma—bunyi-bunyi asing bagi telinga anak-anak, membuat beberapa dari mereka mengernyitkan dahi, bahkan saling menatap dengan ekspresi bingung. Barangkali ini kali pertama mereka mendengar nama-nama itu, meski bentuknya, sebagian, mungkin pernah mereka lihat di majalah atau televisi.
Ternyata, nama-nama itu bukan sembarang nama. Ia merujuk pada bentuk dan filosofi yang melekat pada tiap perhiasan. Misalnya, taloe takue bungong meulue—sebuah anting dengan bentuk menyerupai bunga melur yang sedang mekar, halus namun kokoh. Lalu ada taloe takue bieng meuh, perhiasan yang ujungnya menyerupai capit kepiting kecil yang dibuat dari emas, seolah menghadirkan laut ke dalam karya seni tubuh.
Saya perhatikan wajah-wajah siswa, terutama para siswi, tampak penasaran. Mereka mendekat ke kaca, mengikuti bentuk-bentuk perhiasan yang mungkin dulu dikenakan oleh perempuan bangsawan Samudra Pasai. Perhiasan itu bukan sekadar penambah kecantikan, tapi juga cerminan status, budaya, dan keanggunan masa lalu.
Warisan Ilmu dari Manuskrip Kuno
Dan sebagaimana perhiasan adalah lambang keindahan lahiriah, kitab-kitab kuno yang kami kunjungi tak jauh dari ruangan itu adalah lambang kekayaan batin. Kak Laras kemudian mengajak kami bergerak ke area kecil yang memajang naskah-naskah tua. Tak banyak, tapi cukup untuk membuat kami terdiam sejenak.
Di balik kaca, tertata rapi kitab-kitab yang telah berusia ratusan tahun. Kitab Hujjatul Balighah, Mushaf Al-Qur’an tulisan tangan, Kitab Bab An-Nikah, Kitab Tasawuf, Kumpulan Doa, Siratul Mustaqim, Nubuwat Muhammad, dan bahkan sebuah buku berbahasa Belanda. Lembaran-lembaran rapuh itu seperti berbisik kepada siapa saja yang memandangnya: bahwa dahulu, ilmu adalah cahaya yang dijaga, ditulis dengan tangan, dan diwariskan dengan penuh kehati-hatian.
Saya mendekat, menatap kaligrafi halus di atas kertas yang mulai menguning. Setiap goresannya seolah menjadi jembatan antara masa kini dan masa lalu—antara kita dan para alim ulama yang dahulu pernah duduk dalam cahaya lampu minyak, menulis dengan penuh khusyuk dan dedikasi.
Melihat kitab-kitab ini, saya merasa kecil. Ada kekayaan spiritual yang begitu besar tersimpan di balik museum ini. Bukan hanya harta kerajaan atau perhiasan bangsawan, tapi juga warisan ilmu, iman, dan budaya yang mengalir jauh ke dalam akar sejarah kita.
| Salah satu koleksi manuskrip pada Museum Islam Samudra Pasai. |
Meski rasa kagum terus tumbuh selama kami menyusuri ruang-ruang sejarah, saya tak bisa menampik sedikit rasa kecewa saat tiba di bagian koleksi manuskrip. Yang tersaji memang berharga, namun masih sangat terbatas. Beberapa kitab tua, satu dua mushaf, dan buku berbahasa asing yang barangkali dahulu dibawa oleh pendatang. Tapi hati ini berharap lebih. Museum ini layaknya mutiara yang belum sepenuhnya digali. Andai saja suatu hari nanti koleksi manuskrip kuno dari era Kerajaan Samudra Pasai bisa ditemukan kembali—manuskrip asli dari tangan para ulama, cendekia, atau sultan-sultan terdahulu. Niscaya, tempat ini tak hanya menjadi rumah sejarah, tapi juga pusat rujukan ilmu pengetahuan.
Kisah Jejak Para Penjelajah
Dari ruang kitab, kami diarahkan menuju sebuah ruang yang terasa lebih akrab dan santai: perpustakaan digital dan ruang baca. Anak-anak dipersilakan duduk bersila, membentuk lingkaran di atas lantai, sementara suara AC mengisi ruang dengan desis lembut. Suasana hening, nyaman, dan hangat—seperti hendak menyambut kisah-kisah yang telah lama menunggu untuk diceritakan kembali.
Dengan suara yang mantap namun bersahabat, Kak Laras kembali memandu perjalanan kami—kali ini bukan lewat benda, tapi lewat kisah. Ia mulai menyebut nama-nama besar yang dahulu pernah menjejakkan kaki di tanah Samudra Pasai. Ibnu Batutah, Marco Polo, Laksamana Cheng Ho, Tomé Pires—nama-nama yang selama ini hanya kami kenal lewat buku pelajaran, kini hidup kembali dalam suara pemandu kami.
Anak-anak mendengarkan dengan penuh perhatian, sebagian membungkuk ke depan, seolah takut kehilangan satu kata pun dari cerita yang disampaikan. Kak Laras bercerita bagaimana Ibnu Batutah, si pengembara dari Maroko itu, begitu terkesan dengan keislaman dan keilmuan masyarakat Samudra Pasai. Ia mencatat semuanya dalam “Ar-Rihlah”, catatan perjalanannya yang legendaris, yang kini menjadi saksi bahwa negeri ini pernah menjadi perhentian penting dalam lintasan sejarah dunia.
Marco Polo datang lebih awal, membawa cerita tentang kemegahan pelabuhan, kemakmuran dagang, dan keramahan penduduk. Cheng Ho, dengan armada raksasanya, singgah dan menjalin diplomasi damai. Tomé Pires, si penjelajah Portugis, mencatat betapa Samudra Pasai kala itu bukan hanya pintu masuk ke dunia Melayu, tapi juga simbol kekuatan budaya dan politik yang diperhitungkan.
Di ruangan itu, suara Kak Laras menyatu dengan ingatan sejarah, dan kami semua—guru, siswa, bahkan mungkin museum itu sendiri—menjadi pendengar yang diam-diam bersyukur. Bahwa di tanah ini, jejak-jejak besar pernah terukir. Dan hari itu, walau hanya sejenak, kami ikut menapakinya.
Catatan-catatan perjalanan para penjelajah dunia itu bukan sekadar kisah pengembaraan. Ia adalah bukti otentik—jejak tertulis yang menegaskan bahwa Samudra Pasai pernah berdiri megah sebagai salah satu kerajaan besar di Asia Tenggara. Sebuah negeri yang tidak hanya menjadi simpul dagang dan budaya, tapi juga pusat ilmu pengetahuan dan spiritualitas.
Maka, sebagai generasi yang lahir dari tanah warisan ini, sudah sepantasnya kita menggali lebih dalam akar kejayaan itu. Menyelami sejarah bukan hanya untuk bernostalgia, tapi untuk belajar bagaimana masa lalu bisa menerangi jalan masa depan. Anak-anak pun tampak mulai menangkap pesan itu. Mata mereka berbinar, tangan mereka menari-nari di atas kertas, mencatat setiap kata yang dilontarkan Kak Laras.
Beberapa siswa bahkan mengangkat tangan, penuh semangat ingin bertanya. Namun sesi tanya jawab belum tiba. Kak Laras dengan senyum sabar menjelaskan bahwa pertanyaan mereka akan dijawab pada sesi berikutnya. Meski sedikit kecewa, tidak ada wajah murung. Mereka justru kembali sibuk mencatat—seolah takut kehilangan serpih pengetahuan yang baru saja mereka temukan.
Tak hanya kisah para pengembara, anak-anak juga diajak menyelami lembar lain sejarah: perjuangan bangsa saat agresi Belanda. Di sini, Aceh tak pernah absen. Banyak pahlawan yang syahid di medan perang demi mempertahankan tanah air. Salah satunya adalah Cut Meutia, pejuang perempuan dari Aceh Utara, yang namanya kini hidup dalam buku sejarah dan monumen kenangan. Rumahnya masih berdiri di Desa Masjid Pirak, Kecamatan Matang Kuli—tempat yang mungkin akan kami kunjungi di lain waktu, sebagai pelajaran sejarah yang lebih dekat dan nyata.
Mengenal Alat Musik dan Tradisi Aceh
Sebelum hari itu berakhir, Kak Laras menyerahkan tongkat cerita kepada Kak Novi Aditia, sang pemandu berikutnya. Dengan suara ramah dan intonasi penuh semangat, Kak Novi memperkenalkan dirinya. Tak butuh waktu lama untuk menarik perhatian anak-anak. Ia mulai menjelaskan tentang alat-alat musik tradisional Aceh—bunyi yang bukan hanya menjadi hiburan, tapi juga bagian dari identitas budaya kita.
Penjelasan Kak Novi mengalir lancar, dipenuhi antusiasme dan kedekatan. Anak-anak pun tampak mudah memahami, beberapa bahkan terlihat membayangkan suara rapa'i atau geundrang yang mungkin pernah mereka dengar di kampung. Sejarah terasa hidup—bukan hanya dalam teks, tapi dalam bunyi, bentuk, dan jiwa.
| Geundang Aceh menjadi salah satu koleksi pada Museum Islam Samudra Pasai. |
Di salah satu sudut Museum Islam Samudra Pasai, saya menemukan deretan alat musik tradisional Aceh yang tertata rapi—rapa’i, geundang, seurune kale, canang ceurekeh, hingga alee tunjang. Duta wisata museum dengan penuh percaya diri memperkenalkan setiap alat musik itu, menjelaskan fungsi dan cara penggunaannya dengan singkat tapi padat makna. Saya tak kuasa menyembunyikan kekaguman pada keluasan pengetahuan mereka—betapa dalam dan berharga mereka menjaga warisan budaya ini.
Dari denting alat musik, langkah kami berlanjut pada benda-benda keseharian yang dulu menghiasi rumah-rumah Aceh. Benda-benda itu kini mungkin jarang atau bahkan tak pernah kita lihat lagi. Saya sendiri mengakui, banyak di antaranya yang asing bagi saya—begitu pula bagi anak-anak. Ada mundam, panyoet tujoh mata, ciriek kunengan, cirik suasa, bate ranup, ceurana, sudahan, dan cereupa. Masing-masing membawa cerita dan fungsi yang unik, seolah bisikan masa lalu yang menunggu untuk didengar kembali.
Tak kalah menarik, kami juga diajak menelisik pelaminan adat Aceh, merasakan kemegahan dan keanggunan upacara pernikahan tradisional. Asesoris yang dikenakan oleh pengantin pria, si linto, dan pengantin perempuan, sang dara baro, dipaparkan dengan detail. Anak-anak tampak terpesona, pena mereka tak berhenti menari, mencatat setiap nama dan deskripsi. Raut wajah mereka menunjukkan antusiasme yang tulus—sebuah semangat untuk mengenal dan menjaga budaya leluhur mereka.
| Dara baro dengan pakaian pengantinnya di Museum Islam Samudra Pasai. |
Mengenal Senjata Para Pejuang
Langkah kami berlanjut ke bagian lain yang tak kalah penuh makna—deretan senjata tradisional Aceh yang pernah digunakan para pahlawan dalam mempertahankan tanah air dari penjajah Belanda. Di sinilah rencong, senjata khas Aceh yang sudah akrab di telinga kita, menjadi pusat perhatian. Namun, rupanya bukan hanya rencong yang diandalkan para pejuang. Berjejer pula berbagai jenis pedang, dengan nama-nama yang sarat makna dan cerita—peudeung bari, peudeung meuapet, dan peudeung on teubee.
Salah satu pertanyaan yang pernah diajukan siswa kami menggantung di udara saat kami duduk di ruangan perpustakaan: “Bagaimana bisa rencong menjadi senjata yang begitu mematikan?”
Kak Novi, dengan tenang dan penuh wibawa, menjawabnya. Di zaman dahulu, saat api peperangan berkobar, rencong tidak hanya tajam tapi juga dilumuri racun. Tusukan yang tampak sederhana itu seolah menipu. Musuh mungkin awalnya tak merasakan sakit, tapi perlahan racun itu bekerja dalam tubuh, menyusup, dan mengoyak kehidupan dari dalam. Kematian datang tanpa ampun, membungkam sang lawan.
Bayangan senjata itu di tangan para pejuang, berkilau di bawah terik matahari, menyimpan cerita tentang keberanian dan pengorbanan yang tak lekang oleh waktu. Di balik logam dingin itu, terpahat semangat mempertahankan tanah air yang membara—warisan yang tak hanya tersimpan di museum, tapi hidup dalam jiwa setiap putra-putri Aceh.
| Peudeung on teubee adalah senjata tradisional Aceh yang digunakan saat melawan Belanda. Senjata tradisional ini dipajang di Museum Islam Samudra Pasai. |
Ada Apa di Dapur?
Kak Novi mengajak kami naik ke lantai dua museum. Begitu melangkah, kami diminta melepaskan sepatu dan sandal, lalu duduk bersila di lantai yang terasa teduh dan sejuk. Suasana berubah menjadi lebih khusyuk, seperti memasuki ruang kenangan yang penuh cerita.
Di sini, pemandu kami mulai membuka lembaran kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh tempo dulu. Periuk nasi yang sederhana, belanga yang lekat dengan aroma rempah, hingga blender manual yang lucu disebut seumeupeh—alat yang kini jarang terlihat tapi dulu menjadi saksi bisu aktivitas memasak di dapur-dapur rumah Aceh.
Tak hanya alat memasak, Kak Novi juga memperkenalkan benda-benda yang digunakan untuk menangkap ikan: jala, bubee, dan berbagai perlengkapan lainnya yang mengikat erat kehidupan masyarakat dengan laut dan sungai.
Namun, jujur saya harus mengakui, perhatian saya sedikit melayang. Mata saya terpaku pada sebuah miniatur rumah Aceh yang dipajang di pojok ruangan. Detailnya begitu memikat—atapnya yang bertingkat, ukiran halus pada kayu, dan seolah membawa saya menyelami kehidupan dalam balutan tradisi yang tak lekang oleh zaman.
| Kak Novi sedang menjelaskan beberapa kegunaan benda sehari-hari orang Aceh zaman dulu kepada siswa-siswi MTsN 1 Kota Lhokseumawe. |
Lantai dua memang tak semeriah lantai satu. Di sini terasa lebih seperti markas kecil, sekretariat museum yang sibuk dengan ruang-ruang kerja para pegawai yang setia menjaga sejarah. Saya melihat deretan meja dan kursi, tumpukan dokumen, dan suasana yang tenang namun penuh dedikasi.
Belajar dan Bermain: Refleksi di Penghujung Kunjungan
Di penghujung kunjungan, kami diajak masuk ke aula di lantai yang sama. Di sana, jamuan sederhana menanti kami—snack seadanya yang menghangatkan suasana setelah seharian berjalan menyusuri jejak sejarah. Yang membuat hati saya tersentuh adalah undangan untuk duduk di tika duek, tikar anyaman daun pandan berbentuk persegi yang sudah lama jarang saya lihat. Ingatan saya melayang ke masa kecil, ke rumah nenek di kampung, di mana tikar-tikar serupa menghiasi lantai, setiap ujungnya dijahit dengan kain berwarna-warni, menjadi saksi bisu perbincangan hangat keluarga.
Setelah mengisi tenaga, Kak Laras kembali bergabung dengan Kak Novi dan anak-anak. Mereka memulai permainan kecil—sebuah kuis untuk menguji sejauh mana pengetahuan yang telah mereka serap. Anak-anak dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil, wajah-wajah mereka penuh semangat dan antusiasme.
Kak Laras membagikan lima pertanyaan yang memancing mereka berpikir dan mengingat kembali cerita-cerita yang baru saja didengar. Pena-pena kecil bergerak cepat menuliskan jawaban, suara tawa dan sorak-sorai mengisi ruangan. Saya yakin, bagi mereka yang rajin mencatat dan mendengarkan, menjawab pertanyaan-pertanyaan itu bukanlah hal sulit—melainkan sebuah cara untuk mengukir kembali jejak kejayaan Samudra Pasai dalam benak mereka.
| Anak-anak menjawab pertanyaan yang diberikan oleh Kak Laras. |
Setelah permainan pertama usai, giliran kami para guru pendamping yang ikut meramaikan game kedua. Kebetulan kami bertiga masing-masing bergabung dengan kelompok siswa yang sudah terbentuk. Permainan kali ini bernama ranking 1, di mana setiap pertanyaan harus dijawab secepat mungkin. Meski begitu, tak ada yang gugur, bahkan ketika jawaban meleset, suasana tetap penuh canda tawa dan semangat.
Hari itu, suasana Belajar Bersama di Museum begitu hidup dan penuh warna. Anak-anak pulang dengan wajah penuh kebanggaan dan kepuasan, membawa pulang pengetahuan langsung dari duta wisata museum—para pemandu yang menyimpan lautan ilmu tentang setiap benda bersejarah yang terpajang.
Ketika kegiatan usai, kami mengucapkan terima kasih yang tulus kepada kakak-kakak pemandu yang telah membimbing dengan sabar dan penuh semangat. Harapan kami, suatu saat nanti, dapat kembali menapak tilas jejak sejarah di museum ini, menyelami koleksi yang masih banyak menyimpan cerita.
Bagi Anda yang tertarik mengunjungi Museum Islam Samudra Pasai, catat ya: museum buka dari hari Senin hingga Sabtu, tutup pada hari Jumat dan Minggu. Pintu museum terbuka mulai pukul 10 pagi hingga 4 sore waktu setempat. Masuk ke museum tidak dipungut biaya, kecuali jika Anda datang dalam rombongan dan ingin didampingi pemandu wisata, dengan tarif Rp 200.000.
Jangan ragu menjelajahi lorong waktu di Museum Islam Samudra Pasai, tempat di mana sejarah dan budaya berbisik lembut kepada siapa saja yang ingin mendengarkan. [😎]


Posting Komentar