Gerhana Reshuffle

 

Presiden Prabowo melantikan menteri baru pada kabinetnya. Sumber foto: Kompas.id

Di zaman kuno Mesopotamia, gerhana bulan adalah pertanda. Sebuah isyarat yang terhampar di langit malam. Tak ada yang meragukannya, sebab para astronom mereka, dengan Saros cycle yang nyaris sempurna, telah menguasai waktu. Gerhana itu adalah ancaman, cermin dari kekacauan di bumi. Jika sebuah bayangan menelan bulan, maka ia juga akan memantulkan kekacauan politik. 

Tapi, ini bukan Mesopotamia.

8 September 2025, sebuah gerhana bulan total menghampiri negara yang sedang terluka ini. Sesaat setelah bayangan itu berlalu, sebuah pergantian kabinet tiba-tiba diumumkan. Apakah ada hubungannya? Mungkin. Namun, hubungan itu tak kasat mata, lewat siklus Saros cycle, dalam rentang 18 tahun 11 hari 8 jam (sekitar 6585,3 hari), gerhana dapat dipelajari. Tapi bencana tidak. 

Di sinilah letak hubungannya, barangkali, adalah hubungan antara kegelisahan yang memuncak dan momentum yang datang. Antara kemarahan yang telah lama membara dan sebuah isyarat dari langit yang kebetulan hadir.

Jauh sebelum gerhana itu datang, rakyat gerah. Gerah oleh para elit politik yang berjoget hampa, seperti wayang tanpa dalang, di atas panggung yang runtuh. Rakyat telah muak dengan parade komunikasi buruk, dengan keputusan-keputusan yang menggerus akal sehat. Dan entah dari mana, dari kemarahan itu, muncul sebuah kekuatan yang tak terduga: massa. Massa menyasar rumah-rumah, menjarah harta, bahkan merogoh BH. Kekerasan yang mengganas tak terhindari.

Amukan itu tak hanya singgah di rumah-rumah elit politik Senayan. Massa merangsek hingga ke rumah Sri Mulyani, menteri yang kerap dijadikan kambing hitam kekacauan ekonomi. 

Polisi terdiam. Tentara tak berkutik. Negara seakan-akan tak berdaya. Sementara itu, bisikan-bisikan agar sang menteri mundur mulai berdening, bagai kawanan lebah yang mengusik ketenangan. Bisikan itu bahkan mengikuti Prabowo hingga ke Beijing, saat ia menonton parade militer bersama Xi Jinping, Putin, dan Kim Jong-un. Tubuhnya di China, tapi pikirannya berada di sini, di bawah langit yang muram.

Celakanya, tidak hanya Sri Mulyani yang dikocok ulang. Nama-nama lain juga harus ditumbalkan akibar gejolak massa. Mereka adalah umpan yang harus dirombak. Dan di antara semua itu, gerhana bulan menjadi sebuah momen yang tepat, sebuah kebetulan yang sempurna. Sebuah pertanda alam yang seolah melegitimasi sebuah keputusan politik.

Kita melihat Sri Mulyani diganti oleh Purbaya Yudhi Sadewa. Harapan akan adanya kebijakan fiskal baru, terutama dalam hal pajak, menjadi harapan baru. Apakah ia akan menjadi jawaban? Entahlah.

Lalu ada nama Budi Gunawan. Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan. Barangkali, ia dianggap tak mampu meredam amuk massa yang beberapa hari lalu mengepung kota. Kegerahan itu, yang meledak dari sebuah ketidakadilan, seharusnya menjadi wilayahnya, namun ia tak berdaya. Apakah ia gagal, ataukah amarah itu terlalu besar untuk diredam oleh satu tangan? Siapa yang tahu?!

Budi Gunawan tidak sendiri. Di sampingnya, Budi Arie. Menteri Koperasi ini barangkali harus menanggung jejak masa silamnya, jejak penuh gunjingan yang menempel bagai benalu dari pos kementerian lain. Mungkin ia lupa, dalam politik, masa lalu tak pernah benar-benar mati. Ia selalu kembali, menggerogoti setiap langkahnya.

Ada juga Abdul Kadir Karding. Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Sebuah nama yang begitu penting, namun ia tak mampu menyelesaikan tugasnya. Ia diganti, mungkin bersamaan dengan harapan rakyat yang juga diganti.

Dan Dito Ariotedjo, Menteri Pemuda dan Olahraga. Jabatannya adalah impian bagi banyak anak muda. Namun, ia juga harus menyerahkan jabatannya.

Kabinet Prabowo, yang seharusnya ramping, kini justru bertambah gemuk. Dengan hadirnya Irfan Yusuf sebagai Menteri Haji dan Umroh. Sebuah jabatan baru. Yang mungkin lahir dari kegerahan karena haji kerap jadi lahan korupsi. Atau apakah ini memang sebuah kebutuhan, barangkali juga sebuah kompromi? Itu mutlak haknya presiden.

Kita hanya melihat nama-nama yang datang dan pergi. Mereka dilantik. Mereka dilengserkan. Sebuah drama yang berulang. Namun, kegelisahan itu tetap ada. Dan entah kapan, sebuah gerhana, dalam siklus yang lain akan kembali tiba. Bukan membawa bencana, tapi harapan. [😎]

Lebih lamaTerbaru

Posting Komentar