Penyesalan

 

Memasuki usia 40 tahun, Muhammad Saman baru menyesali keadaan hidupnya yang telah dijalaninya tanpa tujuan. Padahal saat usianya 20 tahun, ia telah memiliki cita-cita untuk masa depannya yang gemilang. Berarti hampir setengah dari kehidupannya telah terenggut dalam penyesalan yang tidak disadarinya.

Saat berstatus mahasiswa dulu, Muhammad Saman merupakan sosok yang dikenal gigih, tekun belajar, dan bisa bertahan dari kerasnya kehidupan di perantauan. Berkat kegigihannya itulah ia bisa menduduki jabatan ketua sebuah organisasi mahasiswa.

“Jadi, apa pencapaian hidupmu sekarang?” tanya Yasmin saat mereka bertemu di sebuah kafe.

“Tidak ada. Semuanya hancur,” timpal Muhammad Saman sambil menjentikkan abu rokok ke asbak. Muhammad Saman memandang hampa ke jalanan. Kendaraan saling mendahului tanpa mengindahkan rambu-rambu lalu lintas. Saat lampu merah menyala, beberapa kendaraan berusaha melanggarnya. Terjadi kekacauan beberapa saat ketika kendaraan dari arah lain membunyikan klakson dengan penuh amarah.

Dari lantai dua kafe itu, Muhammad Saman juga bisa melihat matahari yang mulai tenggelam di ufuk barat. Ia menikmati setiap momen senja itu dengan sepenuh hati. Di depannya, Yasmin duduk dengan anggun, menikmati segelas sanger dingin, minuman favoritnya sejak 20 tahun yang lalu.

“Apa ini semua karena aku?” tanya Yasmin lemah.

Muhammad Saman mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusannya. Ia menghidupkan rokok itu dengan api yang masih tersisa dari puntung rokok lain. Ia menghisap rokok dengan kuat, dan membuang asapnya bersamaan dengan helaan napasnya yang panjang.

“Aku tidak menyalahkanmu, Yasmin! Masing-masing kita punya pilihan hidup tersendiri.”

“Apakah kau masih menulis kisah-kisah? Aku tidak pernah lagi melihat karyamu di media massa.”

“Aku sudah lama meninggalkannya.”

“Kenapa?”

“Entahlah. Setiap aku ingin memulai, aku sudah ingin berhenti.”

“Padahal aku suka kisah-kisahmu.”

“Aku memang menulis untukmu.”

Yasmin terperanjat seketika. Ia tidak menyangka bahwa dirinya berpengaruh besar dalam kehidupan Muhammad Saman. Dua puluh tahun yang lalu, Yasmin dan Muhammad Saman saling berbagi kisah lewat kertas-kertas. Setiap kisah yang ditulis oleh Muhammad Saman selalu dibalasnya dengan kata-kata yang tak kalah indahnya. Bahkan Muhammad Saman tak pernah berhenti mengirimnya kisah-kisah. Sebagai orang yang sedang dimabuk cinta, Muhammad Saman bisa menulis tanpa henti, menulis dengan semangat yang belum pernah diperolehnya, dan ia bisa melahirkan kisah-kisah memukau.

Di media massa, tulisannya kerap tersiar. Yasmin tidak pernah mengabaikan setiap karyanya itu dan dengan senang hati akan menjadi tempat untuk berbagi kebahagiaan bersama Muhammad Saman.

“Apa kau masih ingin menulis sekarang?” tanya Yasmin pelan, tangannya berusaha meraih tangan Muhammad Saman. Ia menggenggamnya begitu erat, seakan tidak ingin melepaskan lagi tangan yang pernah menjamah tubuhnya itu.

Muhammad Saman masih menatap senja di hadapannya. Ia tidak berpaling dari senja itu. Senja, dia memang menyukai senja. Apalagi setelah membaca Sepotong Senja untuk Pacarku karya Seno Gumira Ajidarma. Ia selalu terngiang-ngiang tentang sepotong senja itu yang membuat gaduh, hanya karena ingin mempersembahkan sepotong senja itu untuk pacarnya. Dan Muhammad Saman selalu membayangkan dirinya untuk bisa memotong senja di ufuk barat, lalu menghadiahkannya kepada Yasmin.

“Bagaimana kalau kau menulis untukku sekarang.”

Muhammad Saman menatap mata Yasmin. Tatapan yang sangat dalam. Ia bisa melihat ketulusan Yasmin saat itu.

“Semuanya telah berubah. Aku bukan sosok yang dulu lagi. Aku bukan lagi si pemabuk yang mengemis cinta pada gadis yang telah pergi tanpa pamit.” Ia melepaskan genggaman tangan Yasmin.

“Maafkan aku, Saman!” Yasmin menoleh ke arah jalan raya. Ia menahan gemuruh di dadanya yang telah sesak. Napasnya kini naik turun. Setetes demi setetes airmatanya mulai jatuh. Muhammad Saman hanya menyodorkan tisu ke depan Yasmin.

“Tak ada yang perlu dimaafkan,” kata Muhammad Saman lirih.

Lampu di kafe mulai dimatikan. Beberapa pelayan menutup tirai-tirai. Segala keriuhan di kafe perlahan mulai mereda. Tak lama kemudian, sayup-sayup terdengar suara azan Maghrib di udara Kota Banda Aceh. Suara azan itu saling menggema. Suara pantulan dari toa masjid seperti simfoni yang menari-nari di langit.

Tiba-tiba ponsel Muhammad Saman bordering. “Halo, kok belum pulang?” Suara seorang perempuan terdengar dari ponsel itu. “Iya, sebentar lagi saya pulang,” Muhammad Saman membalas singkat.

“Istrimu?” tanya Yasmin penasaran. Muhammad Saman hanya mengangguk.

“Sudah berapa anakmu?”

“Empat, dua laki-laki dan dua perempuan.”

“Apakah kau bahagia?”

Terkejut dengan pertanyaan yang paling dihindari dalam hidupnya setelah ia menikah, Muhammad Saman memegang erat tangan Yasmin.

“Kenapa kau muncul lagi, Yasmin? Kenapa kau datang lagi? Kenapa kau ada di sini? Padahal aku sudah melupakanmu. Sudah berusaha untuk melupakanmu.”

Kini, benteng ketegaran hatinya mulai runtuh. Ia berusaha untuk tidak menangis, tapi ternyata hatinya melemah. Ia begitu lemah ketika harus berhadapan dengan perempuan yang pernah dicintainya itu. Perempuan yang telah membuat dirinya mabuk asmara. Perempuan yang telah menjatuhkannya ke dalam lubang cinta yang paling dalam.

Dua puluh tahun lalu, perempuan itu tiba-tiba pergi. Ia menghilang bagai ditelan ombak tsunami. Tanpa kabar, tanpa surat, tanpa kisah.

Tadi siang, tanpa sengaja ia bertemu Yasmin di koridor rumah sakit. Muhammad Saman baru saja keluar dari kamar pasien. Rekan kerjanya dirawat di sana. Sedangkan Yasmin juga baru keluar dari ruang pasien. Setelah saling bertanya kabar, diam-diam ada rasa rindu di antara mereka. Keduanya seperti tidak ingin berpisah. Mereka mengobrol sepanjang hari dan berakhir di kafe, tempat sekarang mereka berada.

“Ke mana saja kau, Yasmin?” Entah berapa kali pertanyaan ini meluncur dari mulut Muhammad Saman. Sepertinya Yasmin belum memberikan jawaban.

“Apa kau bahagia bersama suamimu?” Yasmin mengangguk cepat. Tak ada keraguan dalam anggukannya itu.

“Aku selalu berharap demikian, Yasmin. Aku berharap kau akan bahagia di mana pun kau berada.”

Lampu di kafe mulai dihidupkan kembali. Keheningan telah berlalu.

“Aku harus pergi, Saman.”

“Apakah kita bisa bertemu lagi?”

“Aku tidak yakin. Aku hanya tidak ingin memperlebar luka yang telah ada.”

“Tapi luka itu akan terus menganga.”

“Setidaknya kau masih bisa bertahan.”

Yasmin berlalu dari hadapannya. Ia masih bisa mencium aroma yang sama, aroma dari masa dua puluh tahun yang lalu, aroma melati yang paling diidamkannya.

Ketika bayangan terakhir Yasmin menghilang, dada Muhammad Saman penuh dengan gejolak, Ia tidak tahu perasaan campur aduk yang berkumpul di sana. Apakah ia harus marah, senang, atau bersikap tak peduli? Sedangkan dalam kepalanya, berkecamuk pikiran-pikiran yang harus diluahkannya.

“Baiklah, aku akan menulis kisah-kisah tentang kita,” gumamnya dalam hati.

Dua puluh tahun yang lalu, Muhammad Saman pernah bermimpi untuk menjadi pengarang yang besar. Pengarang yang setiap tahun bisa melahirkan karya-karyanya. Dan buku-bukunya tersebar hingga ke seluruh dunia. Itu bukan saja mimpinya sendiri, tapi mimpinya bersama Yasmin.

Posting Komentar