Di Balik Aroma Hangit

 

Kepulan asap dari kejauhan berbentuk serupa jamur tertiup angin. Agak condong ke barat. Aroma hangit menyebar beberapa ratus meter terbawa angin dari laut. Aku bisa mencium bau yang menyengat itu. Tidak jelas rumah siapa yang terbakar. Tapi orang-orang tidak berani mendekat ke sumber api. Menolongnya pun tak mungkin. Beberapa tentara menjaga daerah itu. Mereka menggenggam senjata api yang siap tembak.

Sayup-sayup terdengar kabar bahwa api melalap rumah Pang Kandang. Sosok itulah yang mungkin menjadi sasaran operasi para tentara. Beberapa hari yang lalu, komplotan Pang Kandang bersembunyi di rumbun betung. Mereka menunggu truk tentara melintas. Dari atas rumbun betung, Pang Kandang sudah siap dengan Kalashnikov-nya. Ia mengatur moncong senapan itu sedemikian rupa. Tepat mengarah ke satu titik. Anak buahnya juga melakukan hal serupa.

Setelah setengah jam menunggu, tiba-tiba dari arah timur, sebuah truk reo melaju perlahan. Sopirnya adalah seorang prajurit muda. Barangkali dia baru dua tahun atau tiga tahun menjadi tentara. Di tangan kanannya, terselip sebatang rokok yang tinggal setengahnya lagi. Di sampingnya ada seorang tentara yang lebih tua dari sang sopir. Di tangannya juga terselip sebatang rokok, tapi dia menjepitnya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya memegang senjata api.

Dengan aba-aba yang akurat, Pang Kandang menyambut truk reo itu dengan lusinan peluru, diikuti oleh anak buahnya. Truk reo hilang kendali. Menabrak gundukan tanah. Beberapa prajurit keluar dari bak belakang. Karena tidak siap menerima serangan, beberapa prajurit terjatuh ke tanah. Aspal hitam dipenuhi darah. Sopir truk reo yang terkejut menerima sambutan mematikan itu tidak sempat menyelamatkan diri. Dia menjadi orang yang pertama tewas di tempat. Sedangkan tentara yang bersama sopir dengan spontan keluar dari truk dan mencari tempat perlindungan. Ia membalas serangan itu dengan menembakkan senjata membabibuta ke arah rumpun betung.

Tidak terima dengan kematian tiga orang tentaranya, Kolonel Susanto memerintahkan anak buahnya untuk memburu komplotan Pang Kandang. Raut wajahnya menegang, rahangnya mengeras, bola matanya menyala, “Cepat! Cari pemberontak itu. Bawa dia ke hadapanku. Hidup atau mati!”

Ratusan tentara mulai menyisir Desa Kandang. Mereka juga mengepung rumah Pang Kandang.

“Aku ke sini untuk mencari Pang Kandang,” seorang tentara bertanya dengan setengah lembut ketika seorang yang agak lanjut usia membukakan pintu.

“Dia sudah lama tidak tinggal di sini,” jawab lelaki tua itu. Ia berdiri dengan kokoh di ambang pintu. Matanya menyapu puluhan tentara yang berdiri di hadapannya. Ia bisa mendengar kokangan senjata api yang kapan saja siap ditembak.

Tanpa menunggu jawaban selanjutnya, tentara yang bertanya tadi menarik lelaki tua itu dengan sekuat tenaga. Lelaki tua itu terpental ke depan dan tersungkur. Kepalanya nyaris membentur bongkahan batu di halaman rumahnya. Lelaki tua berusaha berdiri, tapi belum sempat pahanya terangkat, sebuah tendangan mendarat tepat di perutnya. Lelaki tua terpental beberapa depa ke belakang. Ia pun tak berusaha untuk berdiri lagi.

Setelah tidak menemukan apa yang dicarinya, mereka membakar rumah itu.

Bau hangit itulah yang kucium hingga membuatku pusing. Aku mengalami kejadian buruk saat mencium sesuatu yang hangus. Kejadian yang membuatku akan mengenang siapa orang di balik kekejaman itu.

Beberapa tahun yang lalu, saat Presiden Soeharto berpidato di hadapan menterinya dan diam-diam mengirimkan tentara ke sini, aku sedang pulang sekolah. Rintik-rintik air yang berasal dari langit tak kunjung reda. Saat itu pukul dua siang. Aku berteduh di sebuah warung yang sudah ditinggal penghuninya.        

Seekor kambing tiba-tiba berlari kencang. Kambing itu tak henti mengembik. Lidahnya terjulur keluar, liurnya menetes beberapa kali. Di belakangnya, tiga orang tentara mengejar dengan penuh semangat.

“Malam ini, kita akan berpesta. Hahaha…..” salah seorang tentara berkepala licin berseru girang. Ada tato tengkorak di lengan kanannya.

“Sudah lama aku tidak mencicipi sate kambing. Hmmmm, aromanya sudah tercium hingga ke sini,” celetuk tentara lainnya. Senyumnya yang khas menonjolkan gigi serinya berwarna gading.

“Dibuat kari juga enak. Apalagi ditambah daun ganja. Bisa terbang ke langit ketujuh. Hahaha….” Timpal tentara bertubuh jangkung. Dialah yang paling di antara tentara lainnya.

Namun, saat tiba di depan warung yang ditinggal penghuninya itu, mereka melihatku. Memeluk tas selempang dengan wajah tertunduk. Aku menghindari tatapan mereka dan berharap bisa menghilang dalam sekejap.

Tentara itu berdiri lama di sana. Tidak ada lagi kegirangan saat mengejar kambing itu. Mereka silih berganti menatapku seakan tatapan itu ingin menelanjangi diriku. Tak lama kemudian, salah seorang dari mereka mendekat.

“Halo, nona manis. Sedang apa di sini?” tanya tentara bertato tengkorak.

“Memang kalau rezeki tidak akan ke mana-mana,” gumam tentara bertubuh jangkung.

“Hahaha…” Mereka tertawa serempak.

Bagai menghadapi kegelapan yang paling kelam, mereka menyeretku ke dalam warung yang tak berpenghuni itu. Mereka merogoh kemaluanku, dan bergantian menerobos benteng pertahanan yang selama ini kujaga dengan baik. Mereka meninggalkan tubuhku yang setengah telanjang. Aku terbaring lemah. Dengan susah payah menyeret tubuhku. Saat itulah aku mencium bau hangit. Makin lama makin dekat dan mengaburkan pandanganku.

Ketika aku terbangun, Pang Kandang sudah berada di sisiku. Aku tidak tahu berada di mana. Aku juga tidak ingat telah berapa lama aku tertidur. Satu-satunya yang kuingat adalah aroma hangit itu. Aku melihat sekujur tubuhku telah terbalut dengan perban. Kaki, tangan, perut, bahkan setengah kepalaku juga terbalut.

“Aku berjanji akan membalas perbuatan mereka.” Itulah satu-satunya kalimat yang kudengar dari mulut Pang Kandang. Jelas dan tegas meskipun disampaikan dengan suara yang serak seperti menahan gejolak amarah. Barangkali itulah hari terakhir aku melihat Pang Kandang.

Selanjutnya, aku hanya mendengar kabar tentang serangan demi serangan dari komplotan Pang Kandang yang menewaskan para tentara. Termasuk kabar terakhir tewasnya tiga tentara di bawah rumpun betung.

Menurut informasi dari Nyak Salbiah, orang yang merawatku sekarang, ketiga tentara yang tewas itu ciri-cirinya persis seperti tentara yang kuceritakan di atas.

Lebih lamaTerbaru

Posting Komentar