Banyak kisah yang terpatri di Takengon—sebuah kota yang memeluk keindahan dalam sunyi dan sejuknya pegunungan. Harus diakui, pesonanya bukan sekadar mitos; Takengon benar-benar menyimpan keelokan yang memikat mata dan hati.
Waktu kami di sana tidaklah panjang, tak sempat benar-benar menjelajah setiap sudut kotanya. Fokus utama perjalanan kami adalah berkemah semalam di Batur Teluk Mepar. Tenda kami berdiri tepat menghadap Danau Laut Tawar, membingkai pemandangan yang nyaris mustahil diabaikan. Air danau yang jernih dan tenang seolah memanggil kami untuk terus menatapnya—tanpa jemu, tanpa bosan.
Sebelum kembali ke kota asal, rombongan ibu-ibu memutuskan menjajal keberanian mereka—menyusuri derasnya arus di Tan Saril lewat permainan arung jeram. Meski hanya berlangsung sekejap, pengalaman itu meninggalkan kesan yang mendalam; tawa, jeritan, dan cipratan air membentuk kenangan yang sulit dilupakan.
Arung jeram Tan Saril bukan sekadar hiburan—ia menjelma menjadi pelipur rasa ingin tahu yang selama ini terpendam. Dalam riuh aliran sungai dan gemuruh jeram, keberanian mereka seolah menemukan ruangnya sendiri.
Usai menaklukkan derasnya arung jeram, sekitar pukul 13.30 WIB, rombongan kami bersiap kembali ke Lhokseumawe. Namun sebelum roda bus benar-benar berputar jauh, ada keganjilan yang tak bisa diabaikan—perut-perut yang mulai berontak karena belum diisi sejak siang.
Bus pun berhenti di sebuah rumah makan sederhana yang terkenal dengan sajian ayam pecak khas Takengon. Terus terang, saya belum pernah mencicipi hidangan ini sebelumnya. Rasa ingin tahu mulai tumbuh, meski harus diuji oleh waktu tunggu yang agak panjang karena ramainya pengunjung siang itu.
Saat sepiring nasi dan ayam pecak akhirnya tiba di hadapan saya, aroma pedas langsung menyergap. Sambalnya menyala merah, menggoda sekaligus mengancam. Setelah suapan pertama, saya baru menyadari: ini bukan jenis pedas yang bisa diajak kompromi. Bagi lambung saya yang lemah, sambal pecak adalah tantangan yang terlalu berani.
Akhirnya, saya menyerah. Sambalnya saya sisihkan perlahan, sementara daging ayam gorengnya tetap saya santap agar perut tidak terus merintih. Meski begitu, rasa pedasnya seolah tetap menyelinap, entah dari mana. Untuk pengalaman yang membakar lidah ini, saya mengeluarkan Rp 20.000—harga yang terasa wajar untuk rasa yang menggugah, meski tak sepenuhnya bersahabat.
![]() |
| Menu ayam pecak |
Sebagai pelengkap santapan siang, beberapa anggota rombongan memesan es teler dengan nama unik: "Cinta Sultan". Sayangnya, saya hanya bisa memandangi gelas-gelas berembun itu dari kejauhan—perut saya belum sepenuhnya pulih dari pertemuan dengan sambal pecak yang menyengat tadi.
Padahal, tampilan es teler itu sungguh menggoda. Perpaduan warna dari potongan buah, santan, dan es serut yang menyatu dalam gelas bening membuat siapa pun tergiur. Tak heran jika lapak kecil itu tak pernah sepi. Si penjual tampak tak henti bergerak, melayani satu per satu pembeli yang terus berdatangan. Selama kami duduk dan makan di sana, belum sekalipun saya melihatnya berhenti untuk sekadar menghela napas.
Es teler “Cinta Sultan” dijual seharga Rp 10.000 per cup. Bahannya tampak serupa dengan es teler pada umumnya, namun entah mengapa, ada sesuatu yang membuatnya begitu digemari. Mungkin nama yang menarik, mungkin pula karena rasa yang tak tergantikan oleh tempat lain.
Setelah perut terisi dan canda kembali menghangatkan suasana, kami melanjutkan perjalanan menuju Lhokseumawe. Hati kami ringan, penuh kegembiraan. Sebelum benar-benar mengucap selamat tinggal pada Takengon, kami sempat singgah sejenak di Simpang Balek. Di sana, rombongan membeli oleh-oleh berupa aneka buah segar—buah tangan sederhana, tapi sarat makna, sebagai kenang-kenangan dari dataran tinggi yang penuh cerita.
Alpukat adalah buah tangan yang seolah wajib dibawa pulang dari Takengon. Buah hijau dari dataran tinggi ini memang dikenal karena kualitasnya yang unggul—dagingnya tebal, rasanya lembut, dan aromanya khas. Harga alpukat di sini pun bervariasi, mulai dari Rp10.000 hingga Rp25.000 per kilogram. Dan seperti banyak hal dalam hidup, harga memang mencerminkan kualitas.
Jika kamu memilih membeli alpukat seharga Rp10.000 per kilogram, bersiaplah untuk sedikit berjudi. Buahnya mungkin lebih kecil, kadang rasanya cenderung pahit. Sesekali bisa saja kamu beruntung menemukan yang manis dan matang sempurna, tapi itu lebih karena kebetulan daripada jaminan.
Berbeda halnya dengan alpukat di kisaran harga Rp20.000 hingga Rp25.000. Buah-buahnya tampak lebih meyakinkan—ukuran besar, daging padat, dan rasa yang lezat tanpa getir. Terlebih, jika kamu pandai memilih buah yang masih hijau namun matang secara alami, maka alpukat Takengon akan menjadi oleh-oleh yang benar-benar membekas di lidah.
Selain alpukat, Simpang Balek juga menawarkan ragam buah segar lainnya seperti markisa dan terong Belanda—dua buah khas dataran tinggi yang kaya rasa dan manfaat. Harganya pun cukup bersahabat, sekitar Rp20.000 per kilogram. Namun, seperti halnya hasil bumi lainnya, harga tersebut tak selalu tetap; bisa naik atau turun tergantung musim dan ketersediaan di pasar.
Usai belanja oleh-oleh dan menitipkan sedikit kenangan dalam kantong plastik berisi buah, rombongan kami kembali naik ke dalam bus. Mesin dinyalakan, dan perlahan kendaraan melaju meninggalkan Takengon—membawa pulang cerita, rasa, dan udara dingin yang mungkin masih melekat di ujung jaket. [😎]





Posting Komentar