Bulan September 1945 terlalu sunyi, tiba-tiba angin membawa kabar yang menggetarkan kalbu: Indonesia telah merdeka! Maklumat yang dipancarkan dari Jakarta pada 17 Agustus 1945, akhirnya tiba juga di tanah Aceh. Meskipun ia datang terlambat, nyaris sebulan sesudahnya, tapi berita besar itu tidak kehilangan makna. Justru dalam jeda waktu itulah, rakyat Aceh hidup dalam ketegangan yang hening—menanti sesuatu yang belum mereka tahu, tapi bisa mereka rasakan. Suatu perubahan besar akan datang, dan setiap jiwa bersiap, dalam caranya masing-masing.
Sejak Jepang menyerah kepada Sekutu, orang-orang Aceh dipenuhi dengan pertanyaan. Di pelataran meunasah, di pasar, hingga di
ruang-ruang keluarga yang sempit dan gelap, satu pertanyaan menggantung di
udara: lalu siapa yang akan datang menggantikan Jepang? Bagi banyak orang,
jawabannya sederhana dan pahit—Belanda akan kembali. Seperti hujan yang
menyusul mendung, begitu juga kolonialisme yang mereka kira akan datang
menjemput lagi.
Namun, secara garis besar, keadaan tersebut membelah orang-orang Aceh menjadi kelompok.
Kelompok pertama adalah orang-orang yang tak peduli dengan situasi dan kondisi politik di sekitar mereka. Kaum ini lebih memilih untuk menunggu tanpa mengganggu. Mereka tidak terlalu ambil pusing siapa yang datang dan siapa yang pergi. Hidup, bagi mereka, terus berjalan meski sejarah berpindah halaman. Mereka terlalu lelah atau terlalu bijak untuk bereaksi. Mereka menerima segalanya sebagaimana angin menerima arah: dengan tenang. Kelompok ini adalah kelompok terbesar, hampir bisa ditemui pada wajah-wajah orang Aceh kala itu.
Kelompok kedua lebih bersemangat lagi. Mereka menyambut kejatuhan Jepang dengan suka cita. Mereka berharap
Belanda kembali, dan bersama itu kembali pula kemewahan, kemegahan, dan
kehidupan nyaman yang dulu pernah mereka nikmati. Banyak dari mereka adalah
orang-orang yang pernah duduk dalam jabatan tinggi, hidup di rumah mewah, memakai
pakaian yang wangi, dan menikmati manisnya kolonialisme. Mereka merindukan kehidupan di masa Belanda—yang membawa
nama dan kuasa serta semua kelezatan duniawi yang mengiringinya.
Lalu ada kelompok ketiga, golongan yang
bungkam namun waspada. Di luar, mereka tampak tenang seperti permukaan danau,
tapi di dalam, jiwa mereka bergejolak. Mereka tahu, bila Belanda kembali, bukan
hanya kemerdekaan yang terancam—nasib mereka pun tergantung akan dipertaruhkan.
Sebab di masa pendudukan Jepang, mereka telah menjadi pemain aktif. Ada yang
mengambil peran karena idealisme, ada pula karena ambisi pribadi. Ada yang
setia pada bendera matahari terbit, bukan karena cinta, tapi karena peluang.
Baca Juga: Mr. S. M. Amin Menjadi Peredam Pemberontakan
Dalam bayang-bayang kekuasaan Jepang, mereka
tumbuh dan berkembang. Ada yang diangkat sebagai pejabat, ada yang menjadi
penghubung, ada pula yang dengan lihai meniru cara-cara Jepang: dari cara
berjalan, bicara, bahkan dalam nada suara dan sorot mata. Mereka menjadikan
Jepang sebagai cermin, tanpa sadar bahwa cermin bisa pecah sewaktu-waktu. Kini,
ketika matahari itu telah tenggelam, bayang-bayang dosa masa lalu mengejar mereka.
Instruksi dan perintah yang dulu mereka
jalankan tanpa ragu, kini menjadi beban sejarah. Mereka tahu, jika Belanda
kembali dan membuka buku catatan lama, nama-nama mereka akan muncul sebagai
kolaborator. Maka ketakutan mereka bukan sekadar fobia akan kolonialisme,
melainkan ketakutan eksistensial—soal hidup dan mati, soal kehormatan dan
pengkhianatan.
Awalnya, ketiga kelompok ini hidup
berdampingan, meski tidak sepikiran. Tapi waktu adalah pengaduk takdir yang
pelan tapi pasti. Perselisihan pun muncul. Golongan pro-Belanda mulai
mengumpulkan data, menyalin nama-nama, mencatat siapa saja yang pernah bekerja
sama dengan Jepang. Mereka merancang siasat, menyusun dokumen, dan menyiapkan
senjata informasi untuk menekan para kolaborator.
Sementara itu, mereka yang merasa diburu,
mulai merasa terpojok. Ketegangan meningkat. Aura konflik menggantung di langit
Aceh, seperti hujan yang enggan turun tapi sudah menetes satu-satu. Perlahan-lahan, ketegangan ini akan semakin membesar seiring dengan tumbuhnya semangat nasionalisme dan menentang ketidakadilan yang bakalan terjadi beberapa tahun mendatang. Benih konflik mulai tersemai dan akan tumbuh subur seiring dengan perjalanan waktu. [😎]
Narasi di atas diolah dari buku Memahami Sejarah Konflik Aceh karya Mr. S. M. Amin.



Posting Komentar