![]() |
| Nadiem Makarim saat digelandang oleh kejaksaan. Sumber foto dari tangkapan layar Kompas.id. |
Nadiem Makarim berkata: “Saya tidak melakukan apa pun. Kebenaran akan terungkap.”
Ia mengatakannya ketika tangannya akan diborgol. Terdengar lirih diikuti raut muka yang masam dan lelah. "Allah akan mengetahui kebenaran. Bagi saya, seumur hidup saya integritas nomor satu, kejujuran nomor satu," ujarnya sebelum masuk ke mobil tahanan di hadapan puluhan wartawan yang mengerubunginya seperti semut yang mengeroyok gula.
Kalimat-kalimat itu kelak akan terdengar seperti doa yang ditujukan bukan kepada hukum, tapi kepada sejarah. Kepada waktu. Kepada sesuatu yang lebih panjang dari berita dan lebih rumit dari pasal-pasal.
Ini bukan pertama kali dunia
pendidikan disentuh korupsi. Tapi korupsi, seperti juga pendidikan, selalu
datang dalam bentuk yang baru. Dulu dalam bentuk buku pelajaran (mungkin saat ini masih ada), gedung
sekolah, dana BOS. Dan kini: laptop!
Chromebook. Nama itu terdengar modern, hampir
seperti ikon dari masa depan. Tapi masa depan tidak
selalu datang bersama kesiapan. Laptop itu, dalam jumlah tertentu, dikirim ke
tempat-tempat yang bahkan listrik pun tak stabil, apalagi jaringan internet.
Akhirnya, seperti banyak hal lain di negeri ini: mubazir.
Namun siapa yang salah?
Kita mudah menunjuk. Kepada menteri. Kepada
pejabat. Kepada keputusan yang, katanya, "terburu-buru". Tapi
keputusan sering kali tak berdiri sendiri. Ia lahir dari impian yang
besar, kadang terlalu besar untuk tubuh negara ini yang rapuh, serapuh kerupuk yang dihantam barisan geraham.
Digitalisasi adalah mimpi yang indah. Dalam
pertemuan-pertemuan dengan pihak Google, barangkali itu terasa seperti lompatan.
Bayangkan: anak-anak di desa, mengakses dunia lewat layar tipis, mengetik cerita-cerita,
menjelajah ilmu. Tapi infrastruktur bukan impian. Ia adalah kabel, menara, sinyal,
dan jalan yang harus dilalui. Ia tidak bisa dilewati begitu saja dengan
retorika atau merek dagang.
Muhadjir Effendi, menteri sebelum Nadiem,
konon pernah mengabaikan bahkan menolak tawaran serupa. Bukan karena tidak ingin maju, mungkin
karena ia tahu: tidak semua langkah besar dimulai dengan berlari.
Tapi zaman terus berubah. Dan Nadiem adalah anak zaman baru. Latar belakangnya adalah teknologi, bukan birokrasi. Sebagai (bekas) pendiri dan CEO Gojek, dunia yang akrab dengannya bergerak cepat, secepat denting notifikasi di layar handphone untuk segera menuju ke sumber pesanan. Tapi ironisnya, dunia itu, ketika bertemu dengan dunia yang lambat, kadang berbenturan. Dalam bahasa ekonomi, disebut "disrupsi". Dalam bahasa negara, disebut "kebijakan".
Tim untuk proyek pengadaan Chromebook bahkan sudah
dibentuk sebelum Nadiem menjabat sebagai menteri. Artinya, ini bukan tentang satu orang. Ini
tentang bagaimana impian bisa menjadi sistem, dan sistem bisa berubah menjadi
jebakan.
Yang menarik, ketika kasus ini mencuat,
Google sebagai entitas yang dulu begitu dekat, namun kini tampak menjauh. Hadir hanya sebagai saksi, ya.
Tapi tanpa komitmen moral atas mimpi yang sempat dibagi.
Mungkin memang begitulah: negara dan korporasi
sering berbagi mimpi, tapi tidak selalu berbagi tanggung jawab.
Di titik ini, kita tak tahu apakah Nadiem
bersalah atau tidak. Biarlah pengadilan yang berbicara. Tapi kasus ini
menyisakan pertanyaan yang lebih dalam: mengapa pendidikan, yang mestinya jadi
jalan keluar dari kebodohan dan korupsi, justru berkali-kali jadi tempat ia
bersembunyi?
Mungkin karena pendidikan, seperti halnya kekuasaan, terlalu sakral untuk diawasi, terlalu luas untuk diselamatkan oleh satu orang, betapapun cerdas dan niat baiknya. [😎]



Posting Komentar