S. M. Amin Menjadi Peredam Pemberontakan

Mr. S. M. Amin Krueng Raba Nasution, Gubernur Sumatera Utara pertama. Gambar dari koran Het Nieuwsblad voor Sumatra.

Pesawat yang membawa Mr. S. M. Amin Krueng Raba Nasution mendarat sempurna di Medan pada rabu sore, 21 Oktober 1953. Tidak lama kemudian, Amin dan beberapa penumpang lainnya turun dari pesawat. Ia disambut dengan hangat oleh beberapa pejabat dari pemerintahan Sumatera Utara. Residen T. M. Daudsyah segera menyalami Amin dan tampak berbasa-basi sejenak. Kemudian Amin menyalami satu per satu pejabat yang telah menunggu kedatangannya.

Rombongan selanjutnya menuju ke restoran bandara. Amin mendapatkan kalungan bunga dan ia berusaha untuk melepaskan senyuman kepada para penyambutnya. Padahal ia agak keletihan setelah menempuh perjalanan udara dari Jakarta. Di antara rombongan-rombongan yang hadir ada beberapa koleganya dari Aceh. Mereka datang secara khusus untuk menyambut Amin. Ada kebanggaan pada diri mereka ketika temannya telah menjadi orang sukses dalam kancah politik. 

Ini adalah kedua kalinya S. M. Amin menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara. Sebelumnya, pada tanggal 14 April 1947, ia pernah dilantik menjadi Gubernur Muda Sumatera Utara. Wilayah kekuasaannya meliputi Keresidenan Aceh, Tapanuli, dan Sumatera Timur. Saat itu, ibukota Sumatera Utara berada di Pematang Siantar. Di sini juga ia dilantik menjadi gubernur. Namun, mengingat situasi politik yang tidak kondusif karena Belanda telah memasuki Pematang Siantar, maka ibukota Sumatera Utara dipindahkan sementara ke Kutaradja, beberapa kilometer dari tanah kelahiran sang gubernur.

Memasuki tahun 1950-an, kondisi perpolitikan di Aceh memasuki masa-masa genting. Terjadinya pemberontakan yang dipimpin oleh Teungku Daud Beureueh membuat pemerintah pusat panik. Pemberontakan di Aceh harus diredam oleh sosok yang mengerti Aceh itu sendiri. Oleh karena itu, penunjukan S. M. Amin Krueng Raba Nasution dianggap sangat tepat.

Tapi, jalan menuju kursi gubernur untuk kedua kalinya bagi Amin tidaklah mudah. Beberapa hari sebelum ia akan dilantik, datang gelombang protes dari beberapa organisasi Islam terkait pergantian Abdul Hakim kepada S. M. Amin. Masyumi di Sumatera Utara mengirimkan telegram kepada Presiden, Perdana Menteri, dan Menteri Dalam Negeri. Masyumi meminta agar pemerintah meninjau ulang surat keputusan pergantian gubernur karena dianggap tidak bijaksana. Hal senada juga disampaikan oleh Gerakan Pemuda Islam Indonesia. Mereka khawatir pergantian tampuk kepemimpinan Sumatera Utara akan menimbulkan banyak keresahan.

Kalangan Masyumi bertanya-tanya apa dasar pemerintah melakukan pergantian tersebut. Masyumi curiga ada faktor politik di balik pergantian ini karena Mr. Abdul Hakim (gubernur sebelumnya) dianggap tidak berpartisipasi dalam kabinet Ali Wongso (Ali Sastroamidjojo - Wongsonegoro). Jika pun suhu politik di Sumatera Utara yang kian panas akibat pemberontakan, hal tersebut tidak bisa juga dijadikan alasan.  

Berlangsung lima belas menit

Proses pelantikan gubernur yang diserahkan langsung oleh Residen T. M. Daudsyah berlangsung pada hari Kamis tanggal 22 Oktober 1953. Pelantikan berlangsung khidmat dan singkat. Turut berhadir dalam seremonial tersebut antara lain kepala departemen kantor gubernur, bupati, walikota, para kepala dinas otonom dan vertikal, dan juga hadir Residen Binanga Siregar.

Dalam arahannya, Residen T. M. Daudsyah berpesan kepada S. M. Amin agar provinsi yang dipimpinnya harus mengalami masa yang lebih baik. Sedangkan S. M. Amin, dalam pidato singkatnya berharap agar para pejabat pemerintah dan kepada dinas dapat bekerja sama dengan sepenuh hati dalam memenuhi tugasnya yang sulit di masa-masa sulit ini.

Sebagian besar wilayah yang dipimpinnya mengalami gejolak politik yang dahsyat sehingga menyebabkan keamanan terganggu. Gangguan keamanan masih terjadi di mana-mana. Lebih mirisnya lagi, orang-orang yang terlibat di dalam konflik adalah kawan-kawan lama S. M. Amin. Di saat S. M. Amin menjadi Gubernur Muda Sumatera Utara, Teungku Daud Beureueh merupakan sosok panutan dan seniornya dalam kancah politik.

"Pertumpahan darah terus berlanjut dan yang lebih tragis lagi, mereka yang berperan di dalamnya adalah kawan lama kita. Selama bertahun-tahun, mereka telah berbuat banyak bagi negara kita yang kini telah merdeka. Namun, sikap mereka yang menentang pemerintah yang sah dengan senjata adalah tindakan yang melanggar hukum. Oleh karena itu, kita harus, meskipun dengan berat hati, menjalankan tugas kita sebagai pegawai negeri yang taat hukum, dan kita harus melakukannya dengan sebaik-baiknya, apa pun perasaan kita terhadap orang-orang itu," pidato Mr. S. M. Amin yang disampaikan di hadapan para undangan.

Setelah pelantikan yang hanya berlangsung lima belas menit saja, S. M. Amin langsung bertolak ke Aceh. Ia mengagendakan pertemuan dengan beberapa tokoh penting di Aceh untuk mencari solusi terhadap konflik yang terjadi. Amin meninjau situasi di Aceh secara langsung dan mengunjungi sebanyak mungkin tempat-tempat yang rawan konflik.

Meredam Konflik

Pemberontakan yang dipimpin oleh Teungku Daud Beureueh dimulai pada tanggal 20 September 1953 hingga akhir tahun 1955. Sebagaimana dalam maklumatnya, gerakan ini bertujuan untuk membentuk Negara Islam dan ingin melenyapkan Pancasila di Aceh dan sekitarnya. Era kekacauan pun dimulai. Beberapa kota besar mulai terjadinya pemberontakan. Meskipun dapat dilawan dengan alat-alat negara yang sah, namun beberapa kota besar di Aceh jatuh juga ke tangan para pemberontak.

S. M. Amin tidak tinggal diam. Ia memikirkan beragam cara agar korban tidak lagi berjatuhan di antara kedua belah pihak; pihak pemberontak maupun pihak pemerintah. Tapi mengingat pemberontakan sudah tidak terkendalikan lagi dengan dikuasainya beberapa daerah oleh pemberontak, memakai cara kekerasan adalah pilihan terakhir. Secara teori, penggunaan alat negara untuk meredam konflik adalah untuk menjaga kewibawaan negara. Dalam hal ini, mempertahankan Pancasila dari rongrongan merupakan keharusan. 

Melulu menggunakan cara kekerasan juga dianggap tidak baik, bahkan dapat memperburuk konflik. Untuk itu, mengkombinasikan kedua cara ini dengan benar-benar bijaksana adalah pilihan yang bagus untuk sementara. 

Cara-cara seperti ini setidaknya membuahkan hasil di mana permulaan tahun 1956, intensitas pemberontakan sudah mulai berkurang. Maka, pendekatan dialog harus lebih ditingkatkan pada fase ini agar konflik benar-benar mereda. S. M. Amin memanfaatkan momentum ini dengan melakukan pertemuan. Ia menjumpai pimpinan pemberontakan dan mencari solusi terhadap permsalahan yang dihadapi. 

S. M. Amin juga memberi jaminan kepada masyarakat untuk merehabilitasi kembali fasilitas-fasilitas umum yang telah rusak. Korban-korban yang telah kehilangan tempat tinggal ditampung oleh pemerintah. Para pemberontak yang telah ditangkap akan diperlakukan dengan baik sehingga bisa meluluhkan hati mereka. 

Untuk cara kekerasan yang disarankannya adalah menangkap sisa-sisa pemimpin pemberontakan yang sulit untuk diajak bekerjasama. Alat negara harus mencari jejak mereka dengan rutin melakukan patroli dengan meninggalkan kesan yang baik kepada masyarakat. 

Itulah beberapa cara yang bisa dilakukan ketika Mr. S. M. Amin Krueng Raba Nasution menjadi Gubernur Sumatera Utara. Keterlibatan S. M. Amin dalam meredam pemberontakan tidak bisa kita pungkiri. Kecemerlangannya dalam bidang politik diganjar dengan beberapa penghargaan yang diperolehnya dari pemerintah, di antaranya tanda kehormatan Bintang Mahaputra Utama (10 November 1998) ditandatangani oleh B. J. Habibie dan tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana (10 November 2009) yang ditandatangani oleh Soesilo Bambang Yudhoyono. [😎] 

Posting Komentar