12 Rabi'ul Awal. Seperti tanggal-tanggal lainnya dalam kalender Hijriyah, tampak biasa-biasa saja. Tapi, dalam senyapnya, sejarah mulai bertabuh.
Pada hari itu, lahirlah seorang anak laki-laki dari rahim Siti Aminah. Saat itu, ia belum disebut Nabi. Belum pula dijuluki Al-Amin. Ia hanyalah Muhammad. Kelak, nama itu menggetarkan alam semesta. Nama yang mengubah cara manusia memandang Tuhan, memandang dirinya sendiri.
Kelahiran Muhammadi di Mekkah menjadi tonggak baru dalam sejarah dunia. Beberapa hari sebelumnya, Ka'bah dikepung dengan angkuh oleh pasukan Abrahah dan gajah-gajahnya. Tapi, berkat pertolongan Tuhan, gajah-gajah Abrahah melarikan diri, bukan karena takut berperang, melainkan hujaman kerikil dari mulut Ababil seperti terjangan ribuan anak panah.
Kegagalan itu tercatat sebagai ekspansi memalukan. Belum ada narasi sejarah yang bisa mengalahkan kekuatan Abrahah dan gajah-gajahnya. Tapi hari itu, menjelang Muhammad lahir, narasi sejarah itu telah berubah.
Lalu, tahun kelahiran Muhammad kelak dikenal dengan Tahun Gajah.
Beberapa ratus tahun kemudian, tanggal itu dirayakan dengan penuh kemenangan. Umat Islam di berbagai dunia merayakannya dengan tradisi yang melekat. Tradisi yang mengakar seperti pohon tua yang akarnya menembus batu. Sulit ditembus dan sulit untuk dilarang.
Di Aceh, tradisi maulid dirayakan selama tiga bulan berturut-turut dengan kenduri raya. Kita mengenal istilah molod awai, molod teungoh, dan molod akhe. Representasi dari maulid awal, pertengahan, dan terakhir.
Ini adalah bulan yang penuh tantangan bagi penderita kolesterol dan darah tinggi. Ada banyak makanan dalam kenduri raya. Kita bisa mencium harumnya aroma nasi lemak yang dibungkus dengan daun pisang; lalu daging-daging yang dimasak berjamaah dalam kuali sebesar kolam ikan; dan menu lainnya yang menggugah selera.
Namun maulid bukan hanya soal hidangan. Ia bukan soal perut, tapi soal ruh. Bukan saja perkara lidah yang mengecap makanan, tapi lidah yang bershalawat. Ia juga bukan tubuh-tubuh yang statis, melainkan tubuh-tubuh yang bergeliat dalam lantunan shalawat.
Di malam hari, sebagaimana tradisi yang tak lekang oleh zaman, ribuan jamaah hanyut dalam buaian ceramah sang pengkhutbah. Cerita-cerita sirah nabawi diulang-ulang mulai dari kelahiran nabi, kehidupan masa kecilnya, perjuangannya dalam menyebarkan Islam, hingga kemenangan Islam yang tak terbendung. Cerita-cerita itu dibumbui dengan humor gelap dan humor sarkas. Humor yang akan menghidupkan malam dari kematiannya. Humor yang tetap menjaga mata dari rasa kantuk.
Kita tahu, dalam catatan sejarah, Muhammad adalah sosok suci yang menjadi panutan manusia semesta alam. Ia tidak meninggalkan umatnya dalam kegelapan. Ia menunjukkan bahwa Tuhan tidak hanya ada di langit, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Dalam cara makan. Dalam cara memberi. Dalam cara memaafkan.
Ia juga hadir dalam kuliah-kuliah perekonomian. Jual beli yang beradab. Hubungan sosial sesama manusia, bahkan hubungan sosial dengan makhluk hidup lainnya. Dalam ranah politik, Muhammad lahir sebagai pemimpin yang adil. Mampu menjawab persoalan zaman dengan petunjuk Tuhan.
Dan Muhammad tidak meminta kepada umatnya untuk memujanya. Ia hanya meminta manusia untuk memperbaiki akhlaknya.
Tapi sekarang, pertanyaan itu menggema seperti suara yang dilempar ke jurang. Jika akhlak manusia kembali ke zaman Jahiliyah, apakah Muhammad telah gagal?
Atau kita yang abai? Atau barangkali, kita sibuk dengan hal sepele yang dibenci Sang Nabi? Atau kita malah sibuk merayakan kelahirannya tapi enggan meneladani akhlaknya?
Seperti pohon yang rindang, tapi tak memberi teduh. Seperti suara yang nyaring, tapi kosong.
Mungkin maulid bukan soal apa yang telah lahir, tapi apa yang belum juga tumbuh. [😎]



Posting Komentar