Pada tanggal 22 Februari 2025, saya melakukan perjalanan ke Takengon dalam rangka refreshing untuk melepaskan penat. Ide untuk bepergian ke Takengon baru terealisasi ketika mitra saya, Ida Yuliana juga ingin ikut ke sana. Kami akan bergabung bersama rombongan guru-guru MTsN 1 Kota Lhokseumawe yang sejak pagi pukul 11.00 WIB telah berangkat ke Takengon dengan bus sekolah.
Agenda rihlah ke Takengon memang telah direncanakan jauh-jauh hari sebelumnya. Panitia telah mendata siapa saja guru-guru yang ikut ke sana untuk merasakan sensasi Danau Laut Tawar yang saat itu memang menjadi daya tarik para wisatawan. Panitia awalnya merencanakan untuk menginap di Horas Bebuli Takengon, homestay bergaya Eropa yang sangat estetik. Tapi panitia telat untuk melakukan pemesanan pada tanggal tersebut.
Akhirnya rombongan guru MTsN 1 Kota Lhokseumawe mendapatkan tempat di kawasan Bintang, agak jauh sedikit dari perkotaannya. Kembali ke saya, di mana rombongan kami hanya terdiri dari beberapa orang saja. Cukuplah untuk ditampung dalam mobil Avanza.
![]() |
| Salah satu view di Takengon |
Kami berangkat dari Lhokseumawe setelah Ashar. Kami menunaikan ibadah shalat Ashar di Mesjid Cunda. Cuaca sore itu sangat cerah dan bagus untuk melakukan perjalanan. Selama di dalam mobil, kami bercengkrama dan bercakap banyak hal. Oh ya, isteri saya juga ikut dalam rihlah ke Takengon kali ini. Memang saya telah menegaskan bahwa saya akan ikut rombongan kalau saya mengajak isteri saya.
Saat tiba di Gunung Salak - orang-orang menyebutnya begitu - kita harus berhati-hati. Beberapa tempat tampak jalannya penuh lubang. Kalau kita tidak awas dalam berkendara, kita akan mengalami guncangan mendadak yang bisa bikin jantung berdegup kencang. Hal itu juga yang kami alami beberapa kali.
Alam di Gunung Salak sangat memanjakan mata. Kami berencana untuk singgah sejenak di De Ground Cafe. Tapi urung kami kunjungi karena di akhir pekan, cafe tersebut ramai dikunjungi. Sedangkan kami masih memiliki perjalanan yang jauh. Seandainya kami singgah di sana, mungkin kami akan terjebak dalam kegelapan di Gunung Salak yang penuh lubang itu.
Kami melanjutkan perjalanan ke Takengon. Sementara itu hujan mulai turun dan kabut tebal menghalangi jarak pandang Pak Sarjani, sopir kami yang juga suami dari Ibu Ida Yuliana. Untuk mengusir kejenuhan selama perjalanan, kami sebisa mungkin untuk bercakap-cakap hal yang lucu dan mengundang gelak tawa. Apalagi di dalam mobil ikut juga Ibu Ivo dan anaknya Ibu Lia (panggilan akrab Ida Yuliana).
Kepala madrasah kami, Pak Husni telah duluan berada di lokasi. Saya sudah lupa nama lokasi yang telah dibooking oleh panitia. Saat itu sekira pukul 8 malam, Pak Husni mengirim lokasi tersebut untuk kami ikuti melalui Google Maps. Rombongan guru-guru juga baru tiba di penginapan, karena sebelumnya mereka melakukan arung jeram di Lukup Badak.
Baca Juga: Berburu Souvenir Gayo di Pusat Pengrajin Kerawang Gayo Bebesen
Dengan gegas, Pak Sarjani melaju kendaraannya membawa kami ke lokasi. Kami menerobos kabut dan hujan dengan tetap menjaga kestabilan laju mobil. Memang harus hati-hati agar tidak tergelincir. Kami pun tiba di lokasi sekitar pukul setengah sembilan malam. Kondisi hujan. Di sana hanya ada terlihat satu homestay dan beberapa tenda (lebih kurang 5 buah tenda). Awalnya kami sempat memesan tenda, tapi melihat kondisi tempat yang sangat memungkinkan, maka kami urung tidur di tenda. Saat hujan, tenda-tenda tersebut dirembesi air hujan. Apalagi posisi tenda hanya beberapa meter saja dari bibir Danau Laut Tawar. Memang agak tinggi sedikit, tapi saya agak geli apalagi kalau ada ular yang tiba-tiba masuk. Perasaan horor pun berkecamuk dalam dada saya.
Untuk lokasi tempat dengan jumlah rombongan yang sangat besar, agak mengecewakan sedikit. Terpaksa para guru harus tidur beramai-ramai di penginapan tersebut. Untungnya acara malam itu dapat mengobati sedikit kekecewaan para rombongan. Pak Husni mengambil kendali untuk mencairkan suasana dengan berperan aktif dalam memanggang ayam dan ikan.
Acara Bakar Ayam dan Ikan
Di mana-mana, jika melakukan perjalanan ke Takengon baik dalam bentuk family gathering atau pun kegiatan dinamika kelompok, acara bakar membakar seakan menjadi agenda wajib. Cuaca dingin dan perut lapar saat itu semakin memperburuk suasana. Tapi beruntung dengan kesigapan Pak Husni dan Pak Andi yang dibantu oleh Pak Safron, ikan dan ayam dapat dibakar dengan segera.
Rombongan kami yang telat tiba di sana juga ikut bergabung dengan mereka. Kami memang membawa nasi sendiri yang kami masak dengan rice cooker dan ayam panggang serta jagung. Perut terasa lapar karena kami tidak singgah di mana pun sejak berangkat dari Lhokseumawe. Rencana singgah di De Ground Cafe gagal karena padatnya pengunjung dan memanjangnya antrian makanan di sana.
![]() |
| Suasana di dapur umum untuk acara bakar membakar |
Nah, dalam kondisi hujan dan dingin, dapur umum menjadi tempat yang hangat bagi kami untuk menghabiskan malam di sana. Namun sebagian besar rombongan lebih memilih untuk beristirahat di penginapan, tepat di samping dapur umum. Perut yang lapar tampaknya perlu segera diisi, apalagi beberapa guru tampak kelelahan ketika arung jeram tadi. Pak Andi dan Pak Husni kembali dengan sigap mengipas-ngipas api agar ayam dan ikan dapat segera kita nikmati.
![]() |
| Beginilah suasana dapur umum tempat kami memanggang ayam dan ikan |
Ayam dan ikan bakar sudah siap tersaji. Tidak lama kemudian, ibu-ibu "turun dari gunung" dengan membawa piring masing-masing. Kami makan dengan lahapnya di sela-sela hujan dan irama musik yang menggelegar. Acara makan malam berlangsung cepat dan nikmat karena perut-perut yang mulai kelaparan harus segera diisi.
Tidak terbayangkan betapa lelahnya badan kami semua. Mungkin saat ini yang saya butuhkan adalah berbaring di ranjang yang empuk dan mengatupkan mata untuk mengistirahatkan tubuh. Agenda besok pastinya akan lebih seru. Tapi sayangnya, untuk mengistirahatkan tubuh kami dengan tempat yang tidak kondusif tentunya akan membuat tubuh kami tambah lelah. Akhirnya, Bu Mawar (isteri Pak Husni) menawarkan kami untuk menginap di rumah beliau. Sambutan hangat itu langsung kami terima tanpa basa-basi.
Sekira jam 10 malam, kami pun melaju ke rumah Pak Husni. Setiba di sana kami tidak langsung tidur. Kami bercakap-cakap dengan santai hingga pukul 2 dini hari. Nah, saat itulah kami semua tidur.
Menikmati Pagi di Kota Takengon
Meskipun tidur sebentar, tapi tidurnya sangat berkualitas. Penat di seluruh badan mulai terasa hilang di pagi hari. Suasana di Kota Takengon terasa sejuk. Jam 6 pagi, kami berinisiatif untuk berjalan kaki untuk menikmati udara segar. Sekitar pukul 6 pagi, langit masih mulai gelap. Kami tidak menjumpai warga lokal yang melakukan aktifitas seperti kami, yaitu berjalan-jalan pagi. Rumah-rumah masih tertutup. Hanya asap dari dapur yang mengepul. Anjing-anjing berkeliaran di sepanjang jalan sehingga membuat saya geli. Di sini, anjing masih ditemukan di beberapa rumah, berbeda dengan di Lhokseumawe. Tidak ada satu pun anjing yang bisa ditemui di jalanan umum.
![]() |
| Jalan-jalan pagi di Takengon |
Setelah puas mengelilingi area pemukiman penduduk, kami kembali ke rumah Pak Husni. Ibu-ibu segera menyiapkan sarapan di dapur, sedangkan kami bapak-bapak menyeruput segelas kopi buatan sendiri. Kami sarapan dengan lahap. Bu Mawar memanjakan kami dengan menu-menu khas Gayo, seperti cecah terung belanda, ikan nila asam jing, sayur daun jipang, ada juga telur dadar dan ikan nila goreng.
![]() |
| Suasana sarapan pagi di rumah Pak Husni |
Natural Park
Agenda kami hari ini adalah berkunjung ke Natural Park. Sementara itu, rombongan para guru telah berkunjung ke Pantai Menye. Awalnya kami ingin menyusul mereka ke sana, namun karena terbatasnya waktu, kami urung ke sana dan pergi ke Natural Park. Sebaliknya para guru MTsN 1 Kota Lhokseumawe ingin bertamu ke rumah Pak Husni.
Natural Park Takengon tidak seberapa jauh dari rumah Pak Husni. Hanya beberapa menit saja. Jalan menuju ke sana merupakan jalan aspal yang agak kecil. Jika ada dua mobil dari arah berlawanan, terpaksa salah satu mobil harus mengalah.
Wahana ini terletak di Bukit Ewih Tami Delem, Kebayakan. Ada apa saja di Natural Park Takengon ini? Awalnya saya mendengar di sini banyak kelinci. Tapi setelah menjelajah ke sana, kelinci hanya sebagian kecil yang bisa kita jumpai.
Untuk masuk ke sini dibanderol harga tiket sebesar Rp 15.000 per orang. Saat memasuki destinasi wisata ini, saya langsung teringat kepada anak-anak saya. Karena banyak wahana di sini cocok untuk anak-anak. Barangkali jika saya dimudahkan rezeki kelak, saya ingin mengajak Rushan, Emier, dan Omar kemari.
![]() |
| Tiket masuk ke Natural Park Takengon |
Kebetulan kami berkunjung pada hari Minggu. Tentu saja akan banyak wisatawan lokal yang akan ke sini. Saat itu pukul 11.00 WIB. Suasana di sana belum begitu ramai. Kami berfoto ria di beberapa spot yang cocok untuk menyimpan kenangan.
Saya tidak begitu mengetahui jenis wahana permainan anak-anak di sana. Namun ada beberapa ayunan, tempat manjat seperti manjat tebing, beberapa terowongan buatan, dan beberapa wahana permainan anak lainnya serupa di TK. Yang begitu menakjubkan di sini adalah lantainya berupa rumput sintetis. Ketika memasuki area ini, mata kita dimanjakan dengan warna hijau seolah-olah kita berada di sebuah lapangan hijau. Di beberapa tempat juga ada pepohonan rindang seperti kita memasuki suatu kawasan hutan mini.
![]() |
| Spot foto yang banyak diincar oleh pengunjung |
Di sini kita bisa menemui beberapa hewan yang jarang kita lihat, seperti kelinci, ayam kalkun, bebek berwarna putih seperti di film-film barat. Bebek ini jarang saya lihat di tempat kita pada umumnya. Hewan-hewan tersebut tampak terawat dengan baik. Keadaan kandang pun sangat bersih dan pakan hewan ini juga terjaga dengan teratur. Pihak pengelola juga menjual pakan untuk hewan-hewan ini kepada pengunjung. Jadi, pengunjung bisa merasakan sensasi ketika berada di dekat hewan-hewan tersebut.
![]() |
| Bebek-bebek putih yang sering saya tonton di film barat |
Setelah puas berada di Natural Park, agenda kami selanjutnya adalah ingin menikmati suasana di Kala Temu. Saya mendengar cafe estetik ini sangat cocok untuk berkumpul sambil menikmati keindahan alam. Cafe tersebut berada di dekat Arung Jeram Lukup Badak. Kami pun segera ke sana. Saat menuju pintu keluar, Natural Park mulai ramai dikunjungi oleh wisatawan.
Kala Temu by Tujuh Semeja
Cafe Kala Temu berada di pinggiran Krueng Peusangan, tidak jauh dari Arung Jeram Lukup Badak, Simpang Kelaping Kecamatan Pegasing. Tiba di sana tepat ketika azan Zhuhur berkumandang. Secara kebetulan juga kami bertemu dengan rombongan guru-guru. Mereka baru saja dari rumah Pak Husni. Saya dan isteri bergegas menuju ke mushalla dan shalat jamak qashar dengan Ashar secara berjamaah.
Pengunjung di sini pun tidak kalah ramainya. Tempatnya begitu cantik dan estetik. Cocok untuk mengabadikan momen dengan orang-orang tercinta. Untuk memesan minuman dan makanan ringan, kita harus antri terlebih dahulu. Antriannya juga sangat panjang, jadi kita harus segera masuk ke barisan begitu sampai di Kala Temu.
Sebagai tempat nongkrong cantik, harga menu yang ditawarkan di sini pun agak premium. Perlu kantong tebal jika kita pergi dengan rombongan. Selain itu, ada juga taman yang tertata rapi di pinggiran Krueng Peusangan. Tapi untuk masuk ke sana secara gratis, kita harus menunjukkan bill pesanan atau bisa juga dengan membayar tiket masuk seharga Rp 5.000 per orang.
Saya memesan minuman yang belum pernah saya minum, yaitu Kala Temu Asian Dolce. Isteri saya memesan Mango Squash. Setelah pesanan kami tiba setengah jam kemudian, saya mulai mencicipi minuman tersebut. Rasanya sulit saya jelaskan. Agak-agak pahit karena terdiri kopi dan campuran lainnya yang saya tidak tahu.
![]() |
| Kala Temu Asian Dolce dan Mango Squash |
Seperti rasa cappucino yang tawar, minuman itu saya habiskan juga dengan perlahan. Bagi saya, rasa dari minuman tersebut biasa-biasa saja dan tidak ada yang istimewa. Barangkali yang tampak istimewa adalah tempatnya yang nyaman sehingga wajar jika harga minumannya agak premium.
Setelah menyelesaikan nongkrong cantik, kami pun memanfaatkan momen berfoto ria di taman. Saya tidak tahu taman apa namanya. Tapi dari petunjuk arah, taman itu mengarah ke Kalamani Resort. Berarti bisa jadi itu merupakan taman dari Kalamani Resort.
![]() |
| Penunjuk arah |
Di taman tersebut, saya bisa melihat beberapa resort yang berdiri di atas danau. Tampaknya itu danau buatan karena tidak bermuara ke mana pun. Kami tidak diizinkan masuk ke dalam area resort tersebut, hanya sebatas di taman saja. Di taman pun, banyak sekali pengunjung yang mengabadikan momen dengan foto-foto estetik. Bermacam gaya pose diperagakan untuk mendapatkan hasil potretan yang sempurna.
![]() |
| Berpose di taman dengan latar belakang Kalamani Resort |
Siang itu sangat terik. Kami menyadari bahwa kami belum makan siang. Namun, tempat makan siang sudah kami rencanakan yaitu di Gegarang Resto. Ke sanalah tujuan kami selanjutnya.
Kami tiba di sana menjelang Ashar. Bisa dibayangkan bagaimana lelahnya tubuh kami karena belum makan siang. Saya pun akhirnya mengalami kelelahan. Akibat minum kopi di Kala Temu dan terlambat makan siang menyebabkan lambung saya tidak bersahabat. Di Gegarang Resto, saya melihat menu makanan. Saya ingin memesan ikan gurami, sayang sekali, ikannya sudah habis, Yang tersedia hanyalah ikan nila, tapi saya memilih untuk memesan menu yang lain. Selebihnya adalah menu-menu khas Aceh Tengah.
Kami makan dengan lahap sebelum kembali ke Lhokseumawe. Gegarang Resto adalah destinasi terakhir kami. Pada pukul 5 sore, kami pun kembali ke kota asal lewat jalur Bireuen. Ini adalah jalan pulang lainnya walaupun memakan waktu yang lama. Tapi mengingat kondisi Gunung Salak di malam hari, pilihan jalur Bireuen merupakan langkah yang tepat.
Sampai jumpa lagi Tanoh Gayo. Barangkali di lain kesempatan saya akan kembali lagi ke sini. [TM]













Posting Komentar