Presiden Prabowo Subianto dalam suatu kunjungan
ke daerah terdampak bencana pernah mengatakan, "Saya sudah katakan
berkali-kali, saya tidak punya tongkat Nabi Musa, tapi semua bekerja
keras."
Memang semua bekerja keras. Individu-individu
maupun kelompok-kelompok masyarakat telah turun ke jalan-jalan. Menggalang
donasi, lalu berupaya membuka akses menembus batas daerah-daerah yang belum
terjamah bantuan.
Tidak terelakkan lagi bahwa beberapa wilayah
diyakini masih terisolir.
Ironisnya, pernyataan Presiden Prabowo yang
menganalogikan tongkat Nabi Musa rasanya tidak tepat. Kecuali jika ia
memposisikan diri sebagai Firaun.
Kita tahu, tongkat Nabi Musa bukan sekadar
mukjizat yang dapat membelah lautan, mengeluarkan air dari batu dengan sekali
hentak, maupun menjadi sumber cahaya di dalam kegelapan. Tongkat Musa adalah
simbol perjuangan dalam menegakkan agama Tuhan dari tirani Firaun.
Pemerintah sampai saat ini melihat bencana
ekologis yang melanda Sumatera bagian utara sebagai sebuah bencana yang tak horor.
Bantuan asing belum perlu didatangkan. Namun, di saat pemerintah sibuk
menggelar rapat-rapat di kursi empuk, atau hanya sekadar mengunjungi korban
dengan memberi harapan palsu, beberapa korban yang terisolir masih butuh uluran
tangan. Mereka tak hanya butuh makanan saja, pakaian, obat-obatan, dan rumah
layak huni sementara yang lebih penting dari sekadar retorika politis.
Korban bencana butuh gerak cepat dan aksi nyata. Apa
yang telah dilakukan saat ini masih belum menyentuh. Berbeda ketika tsunami
2004 melanda Aceh.
Menurut ingatan saya, usai bencana tsunami terjadi,
berbagai negara mengulurkan bantuannya ke Aceh. Mereka bekerja dengan cepat berdasarkan
hati nurani. Puing-puing reruntuhan dibersihkan dengan segera. Membuka akses
jalan untuk penyaluran bantuan yang tepat sasaran. Korban-korban segera
tertangani, tidak dibiarkan mati kelaparan atau mati perlahan-lahan.
Sebaliknya, penanganan bencana ekologis 26 November
2025 berjalan lambat seperti siput yang malas.
Presiden Prabowo dengan angkuhnya menolak segala
bantuan asing. Mungkin merasa gengsi dan sensi karena dulu pernah dipuji
Presiden Trump karena terlalu seksi.
Padahal, untuk menghadapi bencana ekologis ini
kita tak perlu tongkat Nabi Musa. Yang kita perlukan adalah empati.
Nyatanya, masih banyak sumber daya pemerintah
yang masih kurang empati dalam menangani bencana ini. Terlihat dari
kebijakan-kebijakan daerah yang lamban. Pemerintah daerah telah jauh-jauh hari
menaikkan bendera putih. Bukan karena ingin menyerah atau cengeng, tapi terbatasnya
sumber daya yang dimiliki.
Situasi ini dilihat dalam kacamata berbeda oleh
Pemerintah Pusat yang bersikukuh bencana ekologis ini belum layak ditetapkan
sebagai bencana nasional.
Kita gerah.
Lalu, ketika ada individu yang berhasil menggalang
donasi 10 M dan berhasil menyalurkannya hingga ke wilayah yang terisolir,
pemerintah justru meradang.
Publik kita saat ini tahu mana yang aksi dan mana
yang imitasi.
Kontroversi pejabat setingkat menteri pun kerap
bikin blunder. Bukannya meringankan beban, malah menambah beban yang sudah ada.
Presiden Prabowo haruslah legawa. Harus bersikap
ksatria. Dan perlu memperbaiki retorika dan cara berkomunikasi yang meneduhkan.
Karena pimpinan kita bukan Firaun, maka tongkat Nabi Musa tak perlu kita gunakan. Cukuplah digunakan untuk membelah lautan dan menelan keegoisan tirani Firaun. [*]



Posting Komentar