Pasukan Pendengung


Dalam sebuah investigasi yang pernah dilakukan Kompas, kehadiran buzzer atau pendengung telah mengaburkan fakta di dunia maya. Mereka bekerja secara terstruktur dengan memanfaatkan gaji jutaan hingga miliaran rupiah. Cara mereka bekerja sangat dipengaruhi oleh jejaring yang luas dengan memanfaatkan dukungan teknologi sehingga proses phone farming (peternakan telepon) tumbuh subur sehingga sulit dibendung. 

Kehadiran para pendengung telah merusak kehidupan demokrasi kita. Mereka memainkan isu-isu yang mudah dilahap oleh netizen sehingga terbentuk suatu opini yang menyesatkan. Netizen dibuai dengan fakta-fakta yang kabur dan terjebak dalam bingkai yang telah diunggah oleh para pendengung di media sosial. Netizen yang imannya kurang mantap dan lemahnya literasi digital dengan gamblang melakukan sebaran informasi ke berbagai ruang diskusi dalam grup yang diikutinya. Cara kerja seperti ini adalah ancaman besar terhadap eksistensi negara.

Kebebasan untuk menghasilkan konten-konten yang bernada kebencian terhadap sosok individu atau lembaga bergerak secara masif. Tidak ada kontrol pengawasan terhadap konten-konten yang memecah belah masyarakat kita. Kita masih ingat betapa kejamnya narasi yang dibangun oleh para buzzer saat musim-musim politik. Bahkan mereka mencari celah dengan mengatasnamakan agama. Membangun citra yang buruk dan tidak sesuai dengan norma agama pada salah satu politikus yang ikut bertarung dalam Pemilu merupakan senjata ampuh yang kerap mereka gunakan. Walaupun pada kenyataannya, kandidat yang mereka usung tetap saja mengalami kekalahan. 

Baca Juga: Beragama Berdampak

Apakah para pendengung akan berhenti setelah kandidatnya kalah dalam Pemilu? Kekalahan merupakan proses dalam sebuah kompetisi. Hidup harus tetap berlanjut, dan dapur harus tetap berasap. Pasukan pendengung selanjutnya akan memanfaatkan momentum pemenang Pemilu dengan mencari kesalahan-kesalahan, meskipun kecil. Setiap ada lubang kecil dari kesalahan itu akan dikuak hingga lubang itu membesar. Apa saja akan mereka sebarkan tanpa ada suatu kebenaran, malah berujung pada hoaks. 

Bencana Demokrasi

Kehadiran buzzer yang dimanfaatkan secara licik berdampak terhadap demokrasi kita. Rusaknya tatanan kehidupan demokrasi telah mengacaukan nalar pikir masyarakat. Bencana demokrasi ini diperparah lagi dengan lemahnya literasi digital masyarakat kita. Jika tidak ingin melihat kehancuran yang lebih dalam lagi terhadap keberlangsungan demokrasi ini, maka menyadarkan masyarakat kita terhadap bahaya pendengung adalah salah satu jalan untuk mengembalikan demokrasi ke jalan yang lurus.

Kesadaran manusia tidak terlepas dari pengalaman subjektif yang muncul dari proses fisik di otak. Menurut David Chalmers, seorang ilmuwan kognitif asal Australia yang membagi kesadaran dalam dua bagian, yakni masalah mudah dan masalah sulit. Masalah mudah mencakup bagaimana otak dapat memproses informasi, mengontrol perilaku, dan merespons rangsangan. Sedangkan masalah sulit berkaitan dengan mengapa proses fisik di otak dapat memberikan pengalaman subjektif, seperti rasa sakit atau emosi. Chalmers lebih lanjut menegaskan bahwa kesadaran itu tidak sepenuhnya dapat dijelaskan oleh mekanisme materialis.

Sebagai pengalaman subjektif, kesadaran muncul dari pengalaman proses mental, namun tidak serta merta dapat dijelaskan oleh mekanisme fisik di otak. Misalnya seseorang dengan pengalaman melihat warna merah. Kita dapat memahami bagaimana cahaya merah diproses oleh mata dan dirangsang oleh otak, tapi kita masih belum bisa menjelaskan mengapa pengalaman subjektif "merah" terasa seperti itu bagi individu tertentu.

Dalam hal mengunyah informasi di media sosial, kita perlu pengalaman subjekif ini untuk mencerna suatu isi konten dengan matang. Apa yang dilihat oleh mata dan diproses oleh otak sehingga suatu dapat dinilai baik atau buruk. Karena setiap inividu berbeda, maka proses penyerapan informasi juga mengalami penilaian yang dinamis. Oleh individu seperti ini, oleh David Chalmers digolongkan zombie filosofis. Ia adalah makhluk hipotesis yang secara fisik identik dengan manusia, tapi sayangnya tidak memiliki pengalaman subjektif. Inilah yang banyak dialami oleh masyarakat kita dalam bermedia sosial. Pengalaman subjektif tidak dikembangkan karena akibat lemahnya literasi digital.

Oleh karena itu, memperkaya literasi digital juga menjadi cara ampuh untuk mengusik para pendengung. Bayangkan saja jika semua pengguna internet memiliki tingkat literasi digital yang tinggi, maka akan banyak para pendengung yang akan gulung tikar. Begitu juga informasi hoaks yang menjamur di media sosial perlahan-lahan akan terkikis bahkan terabaikan. 

Mimpi untuk memiliki masyarakat yang kaya akan literasi digital adalah impian kita semua. Kehidupan akan menjadi lebih harmonis karena energi-energi negatif dari konten hoaks akan larut dan hilang bersama helaan napas. Bencana demokrasi yang mengancam stabilitas kehidupan berpolitik juga akan termitigasi. Pasukan pendengung kian kehilangan kesempatannya karena masyarakat tidak lagi percaya pada konten-konten hoaks. [😎]

Posting Komentar